Mohon tunggu...
Lipul El Pupaka
Lipul El Pupaka Mohon Tunggu... sedang mengetik...

ini bio belum diisi

Selanjutnya

Tutup

Nature

Nikel: Harta Karun Indonesia atau Kutukan bagi Surga di Bumi?

9 Juni 2025   12:29 Diperbarui: 9 Juni 2025   12:33 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nikel lagi naik daun banget di Indonesia. Logam satu ini disebut-sebut sebagai "emas hijau", jagoan baru ekonomi kita yang jadi bahan utama baterai mobil listrik. Pemerintah pun gencar mendorong program hilirisasi, dengan harapan nikel bisa jadi tulang punggung industri dan motor penggerak transisi energi. Keren, kan?

Tapi tunggu dulu. Di balik kilaunya yang menjanjikan pundi-pundi uang dan masa depan "hijau", ada sisi gelap yang sering kali luput dari perbincangan. Ada tantangan hukum dan lingkungan yang serius, yang kalau diabaikan bisa jadi bumerang.

Yuk, kita bedah dua isu krusial yang saling terkait: drama izin tambang nikel di surga terakhir kita, Raja Ampat, dan pertanyaan besar tentang apakah baterai nikel ini benar-benar solusi energi yang berkelanjutan untuk planet ini.

Alarm Merah di Surga Terakhir: Tambang Nikel Mengancam Raja Ampat

Kalau kita bicara soal Raja Ampat, yang terbayang pasti surga bawah laut, kan? Rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia, ribuan jenis ikan, dan keindahan yang diakui seluruh dunia. Tempat ini bukan cuma destinasi wisata impian, tapi juga kawasan konservasi yang vital bagi ekosistem global.

Salah satu keindahan Raja Ampat, Papua (Sumber: indonesiatrip)
Salah satu keindahan Raja Ampat, Papua (Sumber: indonesiatrip)

Namun, surga ini sedang terancam. Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel ternyata sudah diterbitkan dan bahkan ada yang aktif beroperasi di beberapa pulau di Raja Ampat, seperti Pulau Gag dan Kawe. Sontak, ini memicu perdebatan sengit: kok bisa kawasan lindung kelas dunia malah mau digali tambang?

1. Tabrak Aturan? Mengulik Legalitas Izin Tambang

Secara logika dan hukum, setiap jengkal tanah di Indonesia punya peruntukannya masing-masing yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ibaratnya, ini adalah "buku denah" raksasa yang menentukan mana area untuk pemukiman, mana untuk pertanian, dan mana untuk konservasi.

Dalam buku denah Provinsi Papua Barat Daya dan Kabupaten Raja Ampat, wilayah itu jelas-jelas dicap untuk pariwisata, perikanan, dan konservasi. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan wilayah itu boleh untuk pertambangan mineral. Jadi, kalau ada IUP terbit di sana, itu jelas-jelas menabrak aturan tata ruang yang sudah ada. Ini bukan soal sepele, ini pelanggaran hukum yang serius.

"Tapi, kan, pemerintah pusat punya kuasa besar kasih izin lewat UU Minerba dan UU Cipta Kerja?"

Betul, tapi kewenangan itu tidak absolut. Ada prinsip hukum yang bilang, aturan khusus (seperti perlindungan kawasan konservasi) harus lebih diutamakan daripada aturan umum. Logikanya, kalau suatu tempat sudah dilabeli "kawasan lindung", ya harus dilindungi, bukan malah dieksploitasi. Izin yang dikeluarkan dengan cara ini bisa dibilang cacat hukum.

2. Pilih Mana: Duit Jangka Pendek atau Surga Jangka Panjang?

Kasus Raja Ampat ini adalah contoh klasik benturan antara logika ekonomi instan dan logika kelestarian jangka panjang. Dari kacamata investasi, nikel adalah cara cepat untuk mendatangkan uang dan membuka lapangan kerja.

Namun, kita sering lupa menghitung "nilai ekonomi" dari alam itu sendiri. Berapa nilai ekonomi dari pariwisata bahari kelas dunia yang menghidupi ribuan orang? Berapa nilai dari terumbu karang yang sehat sebagai sumber ikan dan potensi penyerap karbon? Nilai-nilai ini sering kali dianggap remeh dibandingkan keuntungan tambang yang terlihat nyata di atas kertas.

Tambang Nikel PT GAG (Sumber: CNN Indonesia/Greenpeace)
Tambang Nikel PT GAG (Sumber: CNN Indonesia/Greenpeace)

Padahal, konsep Pembangunan Berkelanjutan yang selalu kita dengar itu intinya adalah menyeimbangkan tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Memaksakan tambang di Raja Ampat sama saja dengan menendang pilar sosial dan lingkungan demi satu pilar ekonomi. Ini adalah resep pasti menuju kerusakan jangka panjang.

3. Siapa yang Jadi Korban? Suara Masyarakat Lokal yang Terabaikan

Pada akhirnya, jika tambang ini terus berjalan, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat adat dan lokal. Hidup mereka bergantung penuh pada laut yang sehat. Jika terumbu karang rusak karena limbah tambang dan hutan di pulau-pulau kecil dibabat habis, mereka mau hidup dari mana?

Inilah yang disebut keadilan ekologis. Masa iya, keuntungan besar dinikmati oleh segelintir korporasi, sementara beban kerusakannya ditimpakan pada masyarakat yang paling rentan? Proses penerbitan izin yang mengabaikan suara dan hak masyarakat setempat adalah sebuah ketidakadilan yang nyata.

Benarkah Mobil Listrik "Sehijau" Itu? Mengintip Dapur Produksi Nikel

Sekarang, mari kita lihat gambaran yang lebih besar. Dunia sedang euforia dengan mobil listrik sebagai solusi melawan perubahan iklim. Nikel jadi bintangnya. Tapi, apakah rantai pasoknya benar-benar berkelanjutan?

1. Jejak Karbon dari Hulu ke Hilir

Klaim "energi bersih" sering kali hanya melihat hasil akhirnya: mobil yang tidak mengeluarkan asap. Padahal, proses produksinya meninggalkan jejak ekologis yang mengerikan.

  • Saat Menambang (Hulu): Tambang nikel di Indonesia kebanyakan adalah tambang terbuka. Artinya? Hutan dibabat, tanah dikeruk habis, dan keanekaragaman hayati lenyap.

  • Saat Mengolah (Hilir): Proses meleburkan nikel (smelter), apalagi yang pakai teknologi HPAL untuk baterai, butuh energi super besar. Ironisnya, energi ini sering kali datang dari pembangkit listrik tenaga batu bara! Selain itu, proses ini menghasilkan limbah beracun (tailing) dalam jumlah masif yang berisiko mencemari laut dan darat untuk selamanya.

Singkatnya, kita mungkin mengurangi emisi di jalan raya kota besar, tapi memindahkannya---bahkan melipatgandakannya---di wilayah pertambangan.

Ilustrasi mobil listrik (Sumber: Pixaline/Pixabay)
Ilustrasi mobil listrik (Sumber: Pixaline/Pixabay)

2. Paradoks Hijau dan Prinsip "Pikir-pikir Dulu"

Fenomena ini disebut "paradoks hijau": menyelesaikan satu masalah lingkungan dengan menciptakan masalah lingkungan baru yang sama parahnya. Ibarat membersihkan ruang tamu dengan cara membuang semua sampah ke dapur.

Seharusnya, kita menerapkan Prinsip Kehati-hatian. Prinsip ini sederhana: jika ada ancaman kerusakan yang serius dan tidak bisa diperbaiki, jangan ambil risiko itu, meskipun kita belum 100% yakin seberapa parah dampaknya. Mendorong produksi nikel secara masif tanpa teknologi yang benar-benar aman dan regulasi super ketat adalah tindakan gegabah yang melawan prinsip ini.

3. Kita Dapat Apa? Keadilan untuk Generasi Mendatang

Ada risiko besar bahwa Indonesia hanya akan menjadi "dapur kotor" bagi negara-negara industri. Mereka menikmati mobilitas bersih, sementara kita menanggung beban kerusakan lingkungannya.

Lebih jauh lagi, cadangan nikel kita tidak abadi, diperkirakan hanya cukup untuk beberapa dekade. Jika kita mengeruknya habis-habisan sekarang, apa yang tersisa untuk anak cucu kita? Ini adalah soal keadilan antargenerasi.

Karena itu, hilirisasi harus diimbangi dengan investasi serius pada ekonomi sirkular, terutama industri daur ulang baterai. Tanpa ini, mobil listrik hanya akan memindahkan masalah dari polusi udara ke tumpukan limbah beracun.

Kesimpulan: Waktunya Melihat Nikel dengan Kacamata Baru

Kasus di Raja Ampat dan realita di balik produksi baterai nikel menunjukkan satu benang merah: kebijakan kita saat ini masih timpang. Kita terlalu silau pada potensi ekonomi dan mengabaikan ongkos hukum, sosial, dan lingkungan yang harus dibayar.

Sudah saatnya kita berhenti melihat nikel hanya sebagai angka dalam neraca perdagangan. Ada supremasi hukum yang harus ditegakkan, ada surga alam yang harus dijaga, ada hak masyarakat yang harus dihormati, dan ada masa depan generasi mendatang yang dipertaruhkan. Transisi energi itu penting, tapi jangan sampai meninggalkan warisan kerusakan yang lebih parah.

Doc. Pribadi/Lipul El Pupaka
Doc. Pribadi/Lipul El Pupaka

***

Penulis: Lipul El Pupaka
EHS and Sustainability Enthusiast, mahasiswa S2 Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam di Universitas Al-Azhar Indonesia

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun