Wisata bukan hanya soal hiburan dan keuntungan ekonomi. Dalam Islam, menjaga alam adalah amanah. Maka, bagaimana jika pengelolaan wisata perairan kita dasarkan pada nilai-nilai syariah yang menyeimbangkan antara manfaat ekonomi dan tanggung jawab ekologis?
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya perairan, memiliki peluang besar untuk mengembangkan sektor wisata danau dan laut. Wisata berbasis perairan ini tidak hanya berpotensi menjadi penggerak ekonomi lokal, tetapi juga membuka banyak lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, ditegaskan bahwa pariwisata merupakan sektor strategis dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pengembangannya harus dilakukan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Di tengah meningkatnya tekanan terhadap lingkungan, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa pertumbuhan wisata perairan tetap selaras dengan upaya pelestarian alam, demi menjaga keberlangsungan sumber daya yang menjadi penopang kehidupan.
Namun, perkembangan wisata perairan yang pesat membawa tantangan lingkungan yang signifikan. Misalnya, aktivitas wisata bahari di area terumbu karang sering menimbulkan tekanan besar pada ekosistem laut. Penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan area terumbu karang oleh wisatawan (seperti snorkeling atau berlayar) dapat menyebabkan kerusakan terumbu, penurunan keragaman hayati, dan gangguan fungsi ekosistem sebagai penahan gelombang (Jubaedah & Anas, 2019). Kondisi serupa juga disampaikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Jamika, F. I. (2023) terkait wisata pantai, di mana sampah plastik dan limbah pengunjung menjadi masalah serius yang mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Pencemaran mikroplastik berdampak luas, tidak hanya mengancam kesehatan manusia, tetapi juga memengaruhi sektor ekonomi, pariwisata, dan keindahan pantai. Di wilayah pesisir dan laut, keberadaan mikroplastik dapat merusak ekosistem laut secara serius. Banyak hewan laut, termasuk ikan, terancam karena mereka bisa terlilit atau secara tidak sengaja menelan potongan plastik, yang sering kali berujung pada kematian. Dengan peningkatan jumlah pengunjung, aspek daya dukung lingkungan (carrying capacity) kawasan wisata juga menjadi perhatian untuk mencegah kerusakan jangka panjang.
Dalam upaya menjaga kelestarian sumber daya alam, konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) menjadi kerangka acuan penting. Prinsip pariwisata berkelanjutan menuntut bahwa kegiatan wisata harus memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat tanpa mengorbankan lingkungan dan aspek sosial budaya setempat. Sebagaimana dikemukakan oleh penelitian Allokendek, M. et al. (2024), keberlanjutan pariwisata memerlukan integrasi aspek ekonomi, sosial, dan ekologis secara serempak. Fokus pada konsep berkelanjutan ini semakin relevan mengingat Indonesia menghadapi tekanan perubahan iklim dan degradasi lingkungan, sehingga pengelolaan sumber daya air harus berbasis prinsip kehati-hatian dan konservasi.
Pendekatan kearifan Islam menjadi relevan dalam konteks ini karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk menjadi khalifah atau pemelihara bumi, menjaga keseimbangan (mizan) dan menghindari pemborosan/berlebih-lebihan (israf). Studi keilmuan menunjukkan bahwa dari perspektif maqashid al-syariah (tujuan syariah), pelestarian lingkungan (hifz al-biah) merupakan bagian integral dari tujuan Islam ([Khuluq & Asmuni, 2025). Artinya, dalam menjaga lingkungan alam, termasuk ekosistem laut dan danau, bukan sekadar kebutuhan fisik, tetapi juga kewajiban agama yang mendasar. Dengan demikian, prinsip-prinsip Islam memberikan landasan normatif untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologis. Sebagai contoh, konsep hifz al-mal (perlindungan harta) dalam maqashid syariah berarti kegiatan ekonomi termasuk pariwisata seharusnya memberdayakan kesejahteraan masyarakat. Namun, hal ini harus sejalan dengan hifz al-biah, yaitu menjaga agar ekosistem tidak rusak. Dengan kata lain, pengembangan wisata perairan yang berdasarkan fikih ekowisata menekankan bahwa orientasi utama wisata harus melestarikan lingkungan akuatik sekaligus memberikan manfaat ekonomi dan pendidikan bagi masyarakat.
Secara spesifik, kajian fiqih ekowisata menyarankan beberapa prinsip operasional untuk mencapai keseimbangan tersebut. Misalnya, pengembangan ekowisata berbasis maqashid syariah menekankan bahwa orientasi wisata harus berfokus pada pelestarian ekosistem perairan. Manajemen wisata hendaknya berdasar pada analisis manfaat ekologis, ekonomi, dan sosial, sehingga semua pihak mendapat keuntungan tanpa merusak lingkungan. Selain itu, pelibatan aktif masyarakat lokal dalam konservasi dan pengelolaan destinasi wisata dianggap sebagai kewajiban bersama (fardhu kifayah), sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam Islam (Mufid, M. 2019). Dengan pendekatan ini, pengembangan wisata perairan diharapkan dapat menghindari eksploitasi berlebihan dan menjadi model pariwisata yang berkelanjutan secara syariah.
Tulisan ini bertujuan mengeksplorasi penerapan kearifan Islam dalam pengembangan wisata perairan yang seimbang antara profit ekonomi dan pelestarian lingkungan. Fokusnya adalah merumuskan kerangka pemikiran berbasis fiqih lingkungan, etika Islami, dan maqashid syariah---tanpa mengkhususkan pada kasus tertentu---agar pengelola dan pembuat kebijakan memahami landasan normatif untuk konservasi sumber daya air.
1. Ketegangan antara Profit Ekonomi dan Pelestarian Ekosistem Perairan
Salah satu dilema utama dalam pengembangan wisata perairan di Indonesia adalah ketegangan antara kepentingan ekonomi dan konservasi lingkungan. Wisata bahari danau maupun laut sering menjadi tulang punggung perekonomian lokal, namun aktivitas wisata yang tidak dikelola secara berkelanjutan dapat menimbulkan degradasi lingkungan (Banna et al., 2023). Contohnya, peningkatan wisatawan di kawasan danau seperti Danau Toba dan laut seperti Bunaken telah menyebabkan peningkatan limbah dan kerusakan ekosistem, terutama terumbu karang dan biota air tawar. Penelitian dari Syafrie, H (2018) menunjukkan bahwa beban ekologis dari pembangunan fasilitas wisata seringkali melebihi daya dukung lingkungan (carrying capacity), khususnya di wilayah pesisir dan perairan tertutup.
Dalam kerangka maqashid syariah, profit ekonomi termasuk dalam kategori hifz al-mal (menjaga harta), namun ia tidak dapat dilepaskan dari hifz al-biah (menjaga lingkungan) sebagai syarat keabsahan manfaat tersebut ([Khuluq & Asmuni, 2025). Maka, Islam tidak menolak keuntungan ekonomi, tetapi mengatur agar pencapaian profit tidak mencederai keadilan ekologis dan keberlanjutan sumber daya.