2. Paradoks Hijau dan Prinsip "Pikir-pikir Dulu"
Fenomena ini disebut "paradoks hijau": menyelesaikan satu masalah lingkungan dengan menciptakan masalah lingkungan baru yang sama parahnya. Ibarat membersihkan ruang tamu dengan cara membuang semua sampah ke dapur.
Seharusnya, kita menerapkan Prinsip Kehati-hatian. Prinsip ini sederhana: jika ada ancaman kerusakan yang serius dan tidak bisa diperbaiki, jangan ambil risiko itu, meskipun kita belum 100% yakin seberapa parah dampaknya. Mendorong produksi nikel secara masif tanpa teknologi yang benar-benar aman dan regulasi super ketat adalah tindakan gegabah yang melawan prinsip ini.
3. Kita Dapat Apa? Keadilan untuk Generasi Mendatang
Ada risiko besar bahwa Indonesia hanya akan menjadi "dapur kotor" bagi negara-negara industri. Mereka menikmati mobilitas bersih, sementara kita menanggung beban kerusakan lingkungannya.
Lebih jauh lagi, cadangan nikel kita tidak abadi, diperkirakan hanya cukup untuk beberapa dekade. Jika kita mengeruknya habis-habisan sekarang, apa yang tersisa untuk anak cucu kita? Ini adalah soal keadilan antargenerasi.
Karena itu, hilirisasi harus diimbangi dengan investasi serius pada ekonomi sirkular, terutama industri daur ulang baterai. Tanpa ini, mobil listrik hanya akan memindahkan masalah dari polusi udara ke tumpukan limbah beracun.
Kesimpulan: Waktunya Melihat Nikel dengan Kacamata Baru
Kasus di Raja Ampat dan realita di balik produksi baterai nikel menunjukkan satu benang merah: kebijakan kita saat ini masih timpang. Kita terlalu silau pada potensi ekonomi dan mengabaikan ongkos hukum, sosial, dan lingkungan yang harus dibayar.
Sudah saatnya kita berhenti melihat nikel hanya sebagai angka dalam neraca perdagangan. Ada supremasi hukum yang harus ditegakkan, ada surga alam yang harus dijaga, ada hak masyarakat yang harus dihormati, dan ada masa depan generasi mendatang yang dipertaruhkan. Transisi energi itu penting, tapi jangan sampai meninggalkan warisan kerusakan yang lebih parah.
***
Penulis: Lipul El Pupaka
EHS and Sustainability Enthusiast, mahasiswa S2 Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam di Universitas Al-Azhar Indonesia