Kasus Raja Ampat ini adalah contoh klasik benturan antara logika ekonomi instan dan logika kelestarian jangka panjang. Dari kacamata investasi, nikel adalah cara cepat untuk mendatangkan uang dan membuka lapangan kerja.
Namun, kita sering lupa menghitung "nilai ekonomi" dari alam itu sendiri. Berapa nilai ekonomi dari pariwisata bahari kelas dunia yang menghidupi ribuan orang? Berapa nilai dari terumbu karang yang sehat sebagai sumber ikan dan potensi penyerap karbon? Nilai-nilai ini sering kali dianggap remeh dibandingkan keuntungan tambang yang terlihat nyata di atas kertas.
Padahal, konsep Pembangunan Berkelanjutan yang selalu kita dengar itu intinya adalah menyeimbangkan tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Memaksakan tambang di Raja Ampat sama saja dengan menendang pilar sosial dan lingkungan demi satu pilar ekonomi. Ini adalah resep pasti menuju kerusakan jangka panjang.
3. Siapa yang Jadi Korban? Suara Masyarakat Lokal yang Terabaikan
Pada akhirnya, jika tambang ini terus berjalan, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat adat dan lokal. Hidup mereka bergantung penuh pada laut yang sehat. Jika terumbu karang rusak karena limbah tambang dan hutan di pulau-pulau kecil dibabat habis, mereka mau hidup dari mana?
Inilah yang disebut keadilan ekologis. Masa iya, keuntungan besar dinikmati oleh segelintir korporasi, sementara beban kerusakannya ditimpakan pada masyarakat yang paling rentan? Proses penerbitan izin yang mengabaikan suara dan hak masyarakat setempat adalah sebuah ketidakadilan yang nyata.
Benarkah Mobil Listrik "Sehijau" Itu? Mengintip Dapur Produksi Nikel
Sekarang, mari kita lihat gambaran yang lebih besar. Dunia sedang euforia dengan mobil listrik sebagai solusi melawan perubahan iklim. Nikel jadi bintangnya. Tapi, apakah rantai pasoknya benar-benar berkelanjutan?
1. Jejak Karbon dari Hulu ke Hilir
Klaim "energi bersih" sering kali hanya melihat hasil akhirnya: mobil yang tidak mengeluarkan asap. Padahal, proses produksinya meninggalkan jejak ekologis yang mengerikan.
Saat Menambang (Hulu): Tambang nikel di Indonesia kebanyakan adalah tambang terbuka. Artinya? Hutan dibabat, tanah dikeruk habis, dan keanekaragaman hayati lenyap.
Saat Mengolah (Hilir): Proses meleburkan nikel (smelter), apalagi yang pakai teknologi HPAL untuk baterai, butuh energi super besar. Ironisnya, energi ini sering kali datang dari pembangkit listrik tenaga batu bara! Selain itu, proses ini menghasilkan limbah beracun (tailing) dalam jumlah masif yang berisiko mencemari laut dan darat untuk selamanya.
Singkatnya, kita mungkin mengurangi emisi di jalan raya kota besar, tapi memindahkannya---bahkan melipatgandakannya---di wilayah pertambangan.