Mohon tunggu...
Lintang Yodhy
Lintang Yodhy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang memotret apapun dan dimanapun, namun lebih senang jika diminta untuk memotret di hutan Indonesia yang masih alami tanpa ada pembangunan yang mengganggu ekosistem.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Ketika Cinta Tak Harus Memiliki: Sebuah Catatan Konservasi

21 Maret 2024   14:30 Diperbarui: 21 Maret 2024   14:32 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by rawpixel.com on Freepik

Tentu kita tidak asing dengan pepatah di atas. Kecintaan terhadap seseorang maupun sesuatu tidak melulu diwujudkan dalam bentuk kepemilikan, baik fisik maupun pengendalian langsung. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menunjukkan kecintaan tersebut. Contohnya, ketika kita cinta pada pasangan kita, salah satu tindakan sederhana yang bisa dilakukan untuk menunjukkan cinta adalah dengan memberi perhatian dan juga memastikan apakah pasangan kita nyaman dan aman dimanapun. Apabila anda pandai memasak, anda dapat memasakkan makanan favorit pasangan anda. Yang terpenting, tidak ada pihak yang ‘memaksakan’ dan ‘dipaksakan’ dalam kegiatan “cinta” tersebut. 

Mari kita menilik pada kasus “cinta pada hewan”. Mirip dengan kasus “cinta kepada manusia”, tentu sikap kita akan serupa juga, bukan? Hewan peliharaan seperti anjing, kucing, hamster, bahkan kelinci dengan tingkah dan rupanya yang lucu dan menggemaskan, menjadi alasan terbesar bagi hampir semua orang untuk memeliharanya. Namun akhir-akhir ini, tren memelihara hewan ini meluas dan bergeser kepada hewan-hewan yang tidak umum dipelihara dan juga bukan hewan domestik. Iguana dan musang misalnya, atau lebih ekstrim lagi, biawak bahkan buaya. Oh, saya lupa dengan harimau. Beberapa figur publik yang kita ketahui memelihara hewan eksotis dan hewan non-domestik, memberikan “edukasi” kepada masyarakat (terutama penggemar), sehingga masyarakat luas tahu dengan keberadaan hewan-hewan tersebut. Senang, tentu. Setidaknya kesadaran masyarakat akan keberadaan hewan-hewan ini meningkat. Namun, sangat disayangkan poin edukasi yang dilakukan oleh para influencer tersebut, alih-alih mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian biodiversitas, justru mendorong rasa ingin memiliki dan memelihara dengan miskonsepsi “kecintaan pada hewan” itu tadi.

Memang tidak boleh ya memelihara hewan tersebut? Bagaimana dengan yang memelihara hewan domestik? Hewan eksotis dan liar yang kita pelihara juga sudah jinak kok, Bukannya sama saja ya? 

Hewan domestik, seperti anjing dan kucing sudah hidup berdampingan dengan manusia sejak beribu tahun yang lalu. Manusia mendomestikasi hewan-hewan ini untuk berbagai kebutuhan hidupnya di zaman itu, yang mengakibatkan kebiasaan, perilaku, bahkan genetiknya secara alami berubah dan diturunkan dari generasi ke generasi. Sifat anjing dan kucing yang jinak dan patuh kepada pemilik merupakan salah satu hasil seleksi yang dilakukan manusia sejak ribuan tahun lalu.

Perlu diketahui, domestikasi dan penjinakan hewan itu berbeda. Domestikasi melibatkan modifikasi genetik (sederhananya dengan menyeleksi indukan hewan, dari perkawinan) agar kecenderungan hewan tersebut untuk menerima dan hidup berdampingan dengan manusia dapat diwariskan. Penjinakan merupakan upaya untuk menjadikan satwa liar dapat menerima kehadiran manusia tanpa mengalami perubahan genetik. Secara perilaku, hewan hasil domestikasi belum tentu berperilaku jinak dan satwa liar dapat berperilaku jinak apabila sejak kecil sudah berdampingan dan dipelihara oleh manusia. Meskipun jinak, perilaku dan insting dari satwa liar yang dijinakkan tetap ada karena itu bawaan dari lahir dan sewaktu-waktu bisa lepas dari ‘tekanan’ kita.  

Pertanyaannya untuk hewan-hewan eksotis dan liar yang banyak dipelihara pada saat ini, kebutuhan krusial seperti apa yang sangat diperlukan bagi manusia dan hanya bisa didapatkan dari hewan-hewan non-domestik tersebut? Kebutuhan apa yang dapat kita penuhi dalam memelihara harimau, monyet ekor panjang, musang, iguana, dan juga ikan arapaima?

Image by nikitabuida on Freepik
Image by nikitabuida on Freepik

Saya memelihara hewan tersebut sebagai bentuk cinta saya terhadap hewan, dan kecintaan ini juga merupakan salah satu cara konservasi juga kan? Sama halnya dengan kebun binatang.

Kembali ke poin yang kita bahas di awal tadi, mencintai bukan berarti harus punya status kepemilikan. Kita dapat cinta hewan dengan cara melihat hewan tersebut langsung di alam, bukan? Akan lebih menyenangkan karena kita mendapatkan suasana baru yang tidak bisa kita dapatkan dimanapun.

Konservasi memang melibatkan preservasi, namun preservasi kadang kala tidak memenuhi aspek konservasi. Jika kita memang berniat untuk konservasi, kita harus paham bahwa kegiatan konservasi harus memenuhi aspek perlindungan, pengawetan, dan edukasi. Jika kita memelihara satwa liar, apakah sudah memenuhi ketiga aspek konservasi tersebut? Kesalahpahaman yang sering kita lihat di lapangan adalah ketika pemilik dan pecinta hewan menyamakan aksi memelihara dengan aksi melindungi hewan. Memelihara berarti kita memiliki status kepemilikan, terlepas dari kebutuhan hewan tersebut terpenuhi ataupun tidak. Sementara melindungi, berarti kita benar-benar harus melindungi hewan tersebut dan segala kebutuhannya. Pertanyaannya, apakah kita bisa menjamin bahwa kita memenuhi kebutuhan satwa liar tersebut? Apakah kita dapat menjamin bahwa kita sebagai manusia dapat menyamai alam dalam memenuhi kebutuhan satwa liar tersebut?

Jika berbicara mengenai kebun binatang yang merupakan salah satu bentuk kegiatan konservasi ex-situ atau di luar area konservasi, tentu sangat berbeda dengan memelihara satwa liar secara pribadi. Kebun binatang selain dapat memenuhi aspeknya sebagai sarana edukasi, juga memenuhi aspeknya sebagai sarana pengawetan satwa liar. Satwa liar yang ditampung kebun binatang merupakan hewan-hewan yang tidak bisa kembali ke alam, biasanya karena hewan tersebut sudah cacat akibat konflik dengan manusia, maupun hewan yang sudah sangat bergantung kepada manusia. Meskipun kita tidak bisa memungkiri bahwa akan tetap ada satwa yang didapat dengan hasil jual beli, terutama untuk spesies yang tidak tersebar di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun