Mohon tunggu...
Muhammad Lintang Kumoro Jati
Muhammad Lintang Kumoro Jati Mohon Tunggu... mahasiswa ilmu komunikasi UIN SUKA [24107030134]

langit sebagai atap rumahku YEEEEE INFJ BOYS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tiap Hari Cemas:Normalisasikan Kelelahan Mental Di Kalangan Muda

13 Juni 2025   23:20 Diperbarui: 13 Juni 2025   20:04 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumbeer lintang kumoro jati

Coba kita tengok media sosial hari ini. Berapa banyak postingan yang menyelipkan kata "lelah", "butuh healing", atau "mental breakdown" dalam bentuk meme, caption, bahkan sekadar status harian? Di satu sisi, ini bisa jadi sinyal bahwa anak muda kini lebih terbuka dalam membicarakan kesehatan mental. Tapi di sisi lain, ada kegelisahan tersendiri: jangan-jangan kita sedang menormalisasi kelelahan mental sebagai bagian yang "biasa saja" dari hidup sehari-hari? 

Kecemasan yang Tidak Lagi Tersembunyi

Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial muda, dikenal sebagai kelompok yang paling vokal soal kesehatan mental. Mereka tidak ragu menyebut dirinya sedang burnout, mengalami anxiety, atau sekadar "mager" karena habis energi sosial.

Namun, semakin sering kita mendengar cerita soal kelelahan emosional ini, semakin tampak bahwa itu bukan lagi kejadian luar biasa. Ia justru menjadi pola. Sebuah kondisi yang diam-diam hadir setiap hari dan seakan wajar.

Masalahnya, ketika kelelahan mental dianggap wajar, orang jadi enggan mencari solusi. "Capek, ya udah. Namanya juga hidup." Kalimat ini terdengar bijak di permukaan, tapi bisa berbahaya jika jadi dalih untuk mengabaikan kondisi psikologis yang terus memburuk.

Beban yang Tak Selalu Terlihat

Banyak orang dewasa di luar sana berpikir, "Ah, anak muda zaman sekarang manja. Baru kerja dikit udah stres." Padahal mereka tidak melihat beban psikologis yang dihadapi generasi ini tuntutan serba cepat, ekspektasi kesuksesan tinggi, ketidakpastian masa depan, hingga perbandingan tanpa henti di media sosial.

Dulu, kita tahu siapa tetangga kita yang kaya. Sekarang, kita bisa melihat gaya hidup ratusan orang sekaligus hanya dengan scroll TikTok. Bahkan saat sedang beristirahat, otak tidak benar-benar berhenti bekerja, karena dibanjiri konten tentang "toxic productivity", "how to be a millionaire in your 20s", atau "morning routine orang sukses".

Informasi yang seharusnya memotivasi justru bisa menjadi bumerang. Bukannya merasa terpacu, banyak anak muda merasa tidak cukup. Tidak cukup sukses, tidak cukup cantik, tidak cukup pintar, tidak cukup bahagia. Kecemasan pun menjadi teman harian yang sulit ditolak.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun