Mohon tunggu...
Kensha Hadima
Kensha Hadima Mohon Tunggu... wiraswasta -

Kata itu ibarat pedang, dia bisa membunuhmu, juga bisa membuatmu hidup. Semua itu adalah pilihanmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istri Buat Ummi

23 Desember 2013   23:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

------------------------

Aku hanya tersenyum, saat wanita itu tertawa bersama bocah bocah kecil di sekelilingnya. Wanita berkerudung panjang warna coklat itu, masih saja tertawa, saat tangan tangan kecil para bocah sibuk menggerayangi pundaknya minta digendong. Wanita yang ku panggil Ummi itu, melihat ke arahku, dan berkata,

” Ayo pada mandi, sudah sore, nanti kalo ndak mau? Eyang panggilkan si Waluyo lhoo!” kata Ummi kepada para bocah.

Waluyo itu salah seorang tetangga kami, yang sudah lama stress dan gila. Kata orang karena kabotan ilmu waktu nyantri ke sebuah pondok di jawa Timur. Para bocahpun bubar menuruti kata Ummi.Perempuan itu pun mendekatiku.

“ Eh, San, opo kamu ndak mau kayak gitu tho?”

“ Kayak gitu opo tho , Mi?” tanyaku.

“Iku, bocah bocah, Opo kamumau punya bocah?” Ummi nyindir lagi. Sama dengan kemaren dan kemarennya lagi.

“Oalaah Mi.. Mi.. ya nanti lah Mi, kalo sudah waktunya.” Lagian aku belum mikir gituan kok.”

“ Lho, yo harus dipikir, kamu itu makin tuwek, apa kamu ndak liat tuh dijenggotmu udah keliatan yang putih hahahaha”, si Ummi ketawa.Giginya yang satu dua yang keliatan, yang lainnya, gusi.

“Hahaha… yo ben to Mi, kalo emang jodoh ndak akan ketuker. Kalo lom jodoh, di kejar sampe ke liang kucing juga ndak akan dapet hahhaha,” Aku ketawa.

“Oalah, bocah mumet, bukan masalah ketuker ama ndak, tapi biar Ummi ni, bisa momong cucu dari kamu.”

“Hahahahha tunggu tanggal mainnya saja, Mi…” kembali tawaku berderai. Tangan Ummi mendorong pundakku, dorongan gemes. Kemudian beliau melangkah masuk.

Ahh, Ummi, aku tahu engkau merindukan cucu dari anakmu ini. Karena Cuma aku yang belum memberikanmu seorang cucu yang bisa engkau ajak main bersamamu. Sedang engkau pernah mengatakan, ingin sebelum menutup mata, bisa menggendong seorang cucu dariku, meski sebentar. Maafkan aku Ummi. Bukan aku tidak mau bersegera memenuhi keinginanmu, tapi aku belum siap untuk mencari ibu dari cucumu nanti. Ada yang mesti aku persiapkan lebih dulu. Yaitu mencarikanmu seorang perempuan yang akan menjadi anakmu juga nantinya. Anakmu yang selain mencintaiku, tapi juga mengasihimu.

Terbayang dulu, saat engkau bersama dia yang telah menghilang, engkau sering menangis. Melihatku. Yah melihatku.

“San, apakah kamu bahagia bersamanya? “ Tanya Ummi waktu itu.

“Bahagia, Mi.” jawabku.

Ummipun menarik nafas.”Kamu tuh, ojo ngapusi Ummi, meski kamu berkata bahagia, Ummi tahu, kamu nanggung perasaan yang uaboott bangeti.” Ummi bisa ngerasa, biso liat sendiri. Bojomu itu tidak pada umumny uwong.”

“Lho, kok Ummi bisa bilang gitu?”

“Wes, pokoknya jangan ngapusi.!”

Aku hanya menghela nafas. Benar apa yang dibilang Ummi. Dan memang perasaan Ummi sangat peka, bisa merasakan apa yang menjadi keresahanku. Dan memang, takdir berjalan penuh warna. Saat airmata bercampur dengan senyum dan kelegaan. Tapi jika itu yang terbaik bagi semua? Harus di jalani. Harus berpisah dengan seseorang yang penah menjadi bidadari. Kata Ummi, hatinya bukan bidadari.

---***----

“Mi, ini buat Ummi.” Kataku.

“Apa itu, San?”Ummi menjawab dari tempat tidur. Wajahnya terlihat lebih gemuk. Tapi bukan gemuk sehat. Sudah beberapa hari Ummi tergeletak di rumah sakit.Selang oksigen tampak nyangkut di hidungnya. Sedang tangan kirinya tertancap jarum yang terhubung selang infus.

“Ini, sayur kriwis, kesukaan Ummi, tadi ke kantin rumah sakit, sudah buka ternyata.” Sayur kriwis adalah sayur dari irisan sejenis kol. Berwarna hijau agak keriting. Sayuran paling disuka Ummi, bila mondok dirumah sakit. “ Aku suapin ya, Mi.”

“Ahh kayak anak bayi wae, sini biar makan pelan pelan sendiri.” Akupun membantu Ummi bangun.Lalu aku bukakan nasi bungkus berlauk sayur kriwis. Dengan lahab beliau makan.. Ku pandangi lekat lekat wajahnya. Urat dan keriput yang tampak, merupakanjejak hidup yang tidak bisa terbantahkan apalagi terlupakan. Melihatnya makan,bayangan waktu aku masih SD, dimana aku sering mengganggunya saat Ummi duduk di perapian. Untuk memanggak beberapa potong ayam untuk dijual berkeliling. Seringkali aku nyuwilin ayam yang sudah dipanggang siap jual. Bangun pagi pagi buta. Sudah mempersiapkan semuanya. Tidur jam sebelas malam, bangun jam dua. Demi mempersiapkan berjualan ayam panggang keliling. Setiap subuh pun aku dibangunkan.

“Ummi, kalo jualan kemana?” tanyaku polos.

“Jauh..kadang naik kereta sampai ke Jenar, atau kalau naik Kopada, sampe Kali Kledung.” Kata Ummi waktu dulu. Kopada, adalah mobil angkot yang biasa beroperasi di daerahku.

“itu jauh banget ya, Mi?”tanyaku lagi.

“ Iya jauh, karna habis turun kopada, dariKali Kledung teruuus jalan sampai Kemiri.”

“Ohhh…” komentarku waktu itu. Tanpa bisa membayangkan seberapa jauhnya. Dan bila ku taksir sekarang, jarak yang ditempuh Ummi jualan keliling, itu 12km setiap harinya.

Aku menarik nafas, sungguh perjuangan Ummi dalam menghidupi anak anaknya. Tidak terbayang berjalan sekian jauhnya setiap hari, menjajakan dagangan ayam panggang. Yang belum tentu orang akan membelinya. Lebih sesak lagi saat terbayang, bila waktu musim penghujan. Dan kini, Ummi sedang di hadapanku, makan nasi dengan sayurkriwis kesukaannya, dengan selang oksiden dan infuse menempel. Sudut mataku mencair. Aku janji Ummi, akan berbuat sesuatu untukmu, yah untukmu.

“San, sudah, tolong tisunya sama buatin the anget ya, jangan manis manis, bikin batuk.”

“Iya Ummi.”

Aku segera melakukan semuanya. Setelah minum, ummipun minta bersandar. Akupun mengatur tempat tidur rumah sakit itu, sehingga di bagian atas bisa bergerak berdiri sehingga bisa untuk sandaran.

“San, untungnya ada kamu.” Ummi berkata.

“Untung apa tho, Mi?”

“Ya untung ada kamu, yang masih longgar waktunya temeni aku, di rumah sakit ini. Cobakalo ndak ada kamu, piye dadine jal?’

“Ahh, Ummi, semoga Ummi cepet sehat ya, jangan banyak pikiran, ntar bikin ndak sembuh sembuh.” Kataku.

“Kamu ini, San, piye ndak mikir, la wong kamu belum mentas, belum tuntas. Cuma kamu anak yang belum nikah, mbok yao cepetan cari bojo lagi.” Aku pengin sebelum aku mati, kamu sudah nikah, syukur syukur bisa ketemu anakmu.” Ummi lagi lagi mengeluarkan unekuneknya. Dengan bahasanyang sama.Nikah.

“ Ya doakan aja ya, Mi.heheheh “ kataku tak mau memperpanjang masalah.

Suara dering handphone tiba tiba terdengar. Aku tengok layar. Tertulis tiga huruf, MAR.

“Ummi, bentar ya, ono telpon.”

“dari sapa?” Ummi pengin tahu.”Cewek yaaa?”

“Dari temen, Mi.” hawabku singkat. Akupun keluar.

----***-----

Hampir seminggu Ummi opname di rumah sakit. Dan setiap harinya aku menemani. Dan selama itu pula, Ummi nyindir penuh harap akan keinginannya bisa mendampingiku di sebuah pelaminan. Aku hanya bisa menarik nafas. Aku terlalu trauma untuk melangkah, sampai aku benar benar yakin bahwa itu yang terbaik bagiku, juga buat keluarga terutama ibu. Hari ini Ummidiijinkan oleh dokter, ehmm bukan diijinkan tapi ibu yang minta ke dokter. Karena merasa sudah bosan tidur di rumah sakit. Sambil menunggu admisnitrasi selesaitotalan biaya yang harus dibayar, aku pencet nomer telpon di hanphone.

“ Eh bisa ndak?” tanyaku

“ Bisa bisa, siap, jam berapa?” Suara di seberang.

“ Biasanya sih selesainya sejam lagi, ya kamu ke sini aja sebelumnya ya.”

“ Ok deh!”jawaban singkat dari seberang.

Aku kemudian melangkah masuk ke kamar. Ummi terlihat masih lemah. Tapi karena memaksa pulang, akhirnya pulang, daripada di rumah sakit stress.Kata dokter, tidak apa apa, asal dijaga benar obat dan pikiran harus tenang.

Setelah administrasi selesai. Dengan menggunakan kursi roda, aku dorong ummi ke depan rumah sakit, untuk pulang.

“San, kita mau pulang naik apa?”

“Mobil Ummi…”

“Mobilnya sapa?” tanya Ummi.

“Ada, punya temen Ummi, sekalian dia katanya mau jenguk Ummi karena belum sempat libur..”

“Ohh, teman ngaji kamu ya?”

“Bukan, Mi. Ya ntar Ummi bisa ketemu kok. Dia sudah ada di depan.”

Perlahan, aku dan Ummi menuju ke dapan. Sekitar tiga menitan kami sampai. Tampak hilir mudik orang keluar masuk.

“ Mana San? Mobilnya?”

Aku celingukan mencari teman yang katanya mau jemput. Aku sendiri tidak tahu dia bawa mobil apa, dan lebih parahnya aku tidak tahu dia, karena aku belum pernah bertemu sebelumnya. Belum sempat aku menjawab pertanyaan ibu, datang sebuah mobil warna Merah. Berhenti tepat di depanku dan Ummi. Di bodinya tertulis March. Terlihat baru, sangat baru.

“Ihh, ini mobil kok berhenti di depan kita, San, ntar kalao temenmu datang nggak liat kita, piye,?” Kata Ummi.

“Bentar Ummi, biar aku bilang ama sopirnya,” Kataku agak gusar juga.

Aku maju selangkah untuk melihat ke dalam mobil. Ahhm warna gelap kacanya. Aku ketukkan jemari ke kaca depan pelan. Tak berapa lama, dari pintu seberang mobil terbuka. Tampak seorang berkerudung kuning memandangku dan tersenyum. Aku gelagepan. Maksud hati, mau menegur, tapi yang muncul malah wamita cantik. Di dalam kepalaku berproses cepat. Seakan tidak asing. Sementara dia berjalan mendekati kami. Ummi, yang khawatir mobil wanita itu mengganggu pandangan temen yang mau menjemput,sudah hamper menegur. Tapi keduluan dia mengulurkan tangannya,

“ Marla.” Katanya lembut tapi jelas.

Aku serasa hampir tak percaya. Karena tidak seperti yang ku bayangkan. Memang dialah temenku yang mau menjemput kami. Tak percaya ternyata dia lebih menggetarkan hati daripada di fotonya.

“Iyakah? Sungguh tidak ku kira.” Terima kasih dan maaf merepotkan ya Marla..” Kataku

“ Never mind.Dengan senang hati.” Katanya sambil tersenyum.

Aku menghampiri Ummi danmendekatkan kursi roda ke Marla.

“Ummi, ini teman yang aku katakana pada Ummi..”kataku

“Ohh, kamu temennya si San? Kirain cowok, hehehe”

Marla tersenyum dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Saat tangan sudah bersalaman. Tangan ibupun ditarik untuk dikecupkan ke bibirnya. Ibu agak kaget, saat marla mencium tangan, wajah ibu sekilas ke arahku. Aku hanya tersenyum.

Kemudian kamipun pulang di antar Marla. Meskipun kami baru bertemu, tapi aku dan Marla sudah akrab, karena sebenarnya sudah ada komunikasi intens meskipun terpisah oleh jarak.

Saat hampir sampai rumah, aku mendekatkan bibirku ke telinga Ummi,berbisik,

“Ummi, Marla adalah calon anak Ummi, sebentar lagi.. dan akan menjadi ibu dari cucu cucu Ummi..”

Dari kaca spion depan, ku lihat Marla tersenyum.

============================================

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun