Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

AFTA 2015 dan “Patenisasi” Produk Budaya Indonesia

4 April 2014   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kamis malam tanggal 27 Maret 2014 lalu, seorang teman kost-an menawarkan sekotak coklat kepada saya. “Mau nggak ?” tanyanya menyodorkan kotak coklat itu. Tanpa pikir panjang, saya pun menyahut mau sambil segera menjulurkan jemari tangan kanan untuk meraup sepotong coklat. Ada kebiasaan saya, sebelum memakan coklat biasanya saya amati dulu makanan itu seraya perlahan mencecap aroma coklat yang menggoda.

Apalagi jika tampilan coklat tersebut unik dan menarik. Kebetulan rupa coklat yang ditawarkan oleh teman kost tadi menarik bagi saya. Coklatnya berbentuk patung merlion yang menjadi maskot negara Singapura. Ukuran coklat bentuk merlion tadi sekira lima sentimeter. Hap ! Sembari menikmati potongan coklat merlion, saya mengamati wadah kotak kemasan coklat. Bentuknya pipih persegi panjang. Pada bagian kemasan atas bergambar merlion pula ditingkahi tulisan besar-besar “SINGAPORE”. Bagian belakangnya terdapat catatan-catatan mengenai sejarah patung merlion, petunjuk penyimpanan dan komposisi bahan coklat.

Sampai disini, yang terpikir bahwa produk coklat Singapore ini benar-benar unik. Tetapi betapa terkejutnya saya, ketika pada satu sisi kecil kemasan coklat membaca kalimat: made in Malaysia. Untung saya tidak tersedak coklat yang masih saya kulum, meski kekagetan menyergap. Dalam hati yang terpikir, wuih orang Malaysia itu kreatif ya ? Bisa mencipta produk bermaskot negara lain sebegitu cantiknya.

Sampai-sampai yang tidak jeli mencermati, jangan-jangan bisa tertipu – berpikir bahwa produk coklat itu adalah produk asli buatan negara singa tersebut. Lebih menarik lagi, kenapa kok negeri jiran yang sanggup membuat produk secantik dan semeyakinkan itu tetap mencantumkan nama Singapore ? Saya berandai-andai, bilamana yang dicantumkan nama Malaysia ya ? Ini merujuk negara pembuat coklat. Kira-kira akan bagaimana ya ?

Saling Klaim Budaya

Pengalaman sepotong coklat yang baru saya alami itu membawa ruang pikiran saya ke dalam bilik yang bernama budaya. Dalam lingkup bilik yang lebih berkotak-kotak, yakni bilik klaim budaya. Sebagai warga negara Indonesia, saya tidak akan pernah lupa bahwa bangsa kita pernah mengalami pengalaman tak enak dengan negara tetangga terkait klaim budaya tadi.

Laman pusakaindonesia.org menginventarisasi sekitar 30-an produk budaya milik Indonesia yang pernah diklaim oleh negara tetangga atau perseorangan dari negara lain. Tercatat batik dari Jawa pernah diklaim oleh perusahaan apparel sport terkenal Adidas; angklung, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange pernah diklaim oleh negara Malaysia (2012); kursi taman dengan ornamen ukir khas Jepara pernah diklaim oleh oknum warga negara Perancis; figura dengan ornamen ukir khas Jepara pernah diklaim oleh oknum warga negara Inggris; dan sebagainya. Akhirnya untuk menyelesaikan sengketa itu harus dibawa hingga ke PBB.

Dari dua pengalaman ini: a) pengalaman makan coklat merlion tapi made in Malaysia; dan b) produk-produk budaya Indonesia diklaim negara tetangga atau negara asing, saya jadi membanding-bandingkan. Apakah batik, angklung, lagu Rasa Sayange, ukiran Jepara dan sebagainya itu kurang terkenal ya daripada patung merlion punya Singapura ? Sehingga ada negara tetangga atau oknum negara asing yang berani-beraninya dengan santai mengklaim semua itu sebagai milik mereka ?

Sebagaimana yang telah saya tulis di awal-awal tulisan ini, saya memiliki perandaian bilamana negara pembuat coklat (yang notabene juga negara yang sering mengklaim produk budaya milik Indonesia sebagai milik mereka) mengklaim patung merlion tadi sebagai milik si negara pembuat coklat, kira-kira bagaimanakah reaksi warga dan pemerintah pemilik singa tersebut dan reaksi warga masyarakat dunia ? Singkatnya apakah mereka mau percaya ?

Tentu saja, hakul sekali tidak akan percaya. Wong, merlion itu identik Singapura dan Singapura identik dengan merlion. Tanpa merlion, Singapura bukanlah Singapura, begitupun sebaliknya. Tanpa Singapura, merlion pun tiada artinya.

Langkah Mematenkan Budaya Kita

Meloncat sedikit, sebagaimana yang diberitakan di media massa (walau tak terlalu sering), tahun depan 2015 negara Indonesia bersama kolega-koleganya di ASEAN akan merapkan kesepakatan AFTA. Kesepakatan itu sendiri telah diteken sejak tahun 1992 atau 22 tahun yang lalu. Kesepakatan itu sendiri sebenarnya berkenaan dengan perdagangan bebas (namanya saja free trade) di mana saat AFTA diberlakukan, pun tarif barang di antara negara ASEAN diturunkan hingga titik paling drastis.

Kategori produk-produk yang dipersiapkan untuk AFTA pun telah ada. Menurut laman online depkeu.go.id, produk-produk yang masuk kesepakatan AFTA merupakan produk-produk yang tercantum dalam inclusion list (IL). Yang jelas apabila produk tersebut berhubungan atau termasuk dengan empat ini: a) keamanan nasional; b)moral; c) kehidupan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan kesehatan; dan d) benda-benda seni, bersejarah dan purbakala; dilarang sama sekali.

Secara hitung-hitungan memang telah ada peraturan yang jelas dan disepakati bersama. Hanya saja dalam praktek dan perkembangannya, siapa yang bisa menjamin keempat kategorisasi yang dilarang tidak dilanggar oleh negara-negara anggota ASEAN ?

Atas dasar apa saya mengajukan kesangsian tersebut, lantaran saya mencermati beberapa hal. Pertama, dari sisi pemerintah Indonesia sendiri. Selama ini pemerintah kita terbukti sekali kurang memperhatikan perawatan, pemeliharaan, pelestarian budaya bangsa sendiri. Misalnya saja alokasi dana untuk bidang-bidang yang berhubungan dengan budaya dan kesejarahan. Mengutip website sekkab.go.id, rinciannya sebagai berikut: pengelolaan permuseuman Rp 140,509 miliar; pelestarian sejarah dan nila tradisional Rp 88, 60r miliar, pelestarian dan pengelolaan peninggalan purbakala Rp 326, 758 miliar, pelestarian cagar budaya dan permuseuman Rp 194, 100 miliar (Sekkab.go.id, diakses 3 April 2014).

Bandingkan dengan biaya yang dihabiskan untuk menghelat Pemilu, Pilpres dan Pemilukada yang mana jumlah digitnya selalu meningkat namun minim pula manfaatnya. Dalam antaranews.com disebutkan biaya Pemilu 2014 sebesar Rp 16 Triliun. Dana sejumlah itu baru-baru ini bertambah lagi sebesar Rp 1,3 triliun (Kompas.com, 11 Maret 2014).

Tidak mengherankan bila pelestarian budaya kita tersendat atau malahan mangkrak dan lantas kesempatan ini dimanfaatkan oleh negara lain atau oknum-oknumnya. Selain itu, sering pula diberitakan, betapa ngenesnya kehidupan para seniman-seniman kita. Madesu (masa depan suram) deh kalau jadi seniman. Seperti Encim Masnah, seorang sinden kesenian gambang keromong klasik yang hidupnya memprihatinkan. Selain itu, kesenian yang ditekuninya sejak lama juga terancam punah lantaran kesulitan regenerasi (Kompas, 6 Februari 2012).

Kedua, AFTA membuka sekat-sekat negara dan budaya. Menurut saya, negara saya masih minim dalam hal pengawasan kebudayaannya sendiri. Data Badan Pusat Statistik 2012 menyebut Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 1.128 suku. Bisa dibayangkan betapa kayanya budaya yang dimiliki kita yang sejatinya merupakan berkah. Namun apakah pemerintah kita telah menginventarisasi seluruh kebudayaan milik seluruh suku bangsa yang ada di negara kita ?

Tambahan ketiga, hukum di Indonesia lemah. Tak jarang bukan negara asing-lah “penghancur” budaya bangsa kita. Justru bangsa kita sendirilah yang menghancurkan miliknya sendiri. Misalnya beberapa kasus yang berhubungan dengan situs candi-candi baik di Jawa (Situs Trowulan) atau luar Pulau Jawa (Situs Candi Muaro Jambi). Sering terjadi, pada lokasi situs yang semestinya steril malah terdapat aktivitas penambangan liar atau alih fungsi lahan. Sedangkan pemerintah yang berwenang, lambat untuk bertindak atau malah membiarkan saja.

Saya kira patut dipikirkan juga poin budaya ini, khususnya mematenkan budaya milik kita agar saat AFTA telah berjalan nanti – kita tidak diterpa (lagi) masalah saling klaim budaya dengan negara tetangga. Bagaimana cara yang efektif dan efisien, perlu dipikirkan dan diikuti dengan langkah konkret semenjak sekarang. Ingat, pemberlakuan kesepakatan AFTA tinggal 20 bulan lagi ! Seandainya kembali terjadi, menurut hemat saya itu adalah kesalahan kita sendiri. Kenapakah kita tak pernah belajar dari sejarah yang sudah-sudah ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun