Mohon tunggu...
Linda Dewi Kusumawardani
Linda Dewi Kusumawardani Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Salatiga

Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Politik Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila

11 Desember 2023   17:09 Diperbarui: 11 Desember 2023   18:41 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstract 

In the dynamics of Indonesian politics, the role of Islamic politics and the principle of the Single Principle of Pancasila are the focus of in-depth analysis.  A deep understanding of the complex relationship between Islamic politics and Pancasila values is essential in maintaining harmony in national and state life.  The importance of studying the balance between Islamic political principles and the philosophical foundation of Pancasila is the basis for political stability and diversity in Indonesia.  This article aims to outline critical discussions regarding how political Islam interacts with the Single Principle of Pancasila, seeking harmony, and identifying potential conflicts that may arise.  By digging deeper into essential aspects, this article provides a comprehensive understanding of the role of Islamic politics within the state ideology frame.

Keywords: Single Principle, Pancasila, Islamic Politics

Abstrak

Dalam dinamika politik Indonesia, peran politik Islam dan prinsip Asas Tunggal Pancasila menjadi fokus analisis yang mendetail. Pemahaman mendalam mengenai kompleksnya hubungan antara politik Islam dan nilai-nilai Pancasila sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pentingnya mengkaji keseimbangan antara prinsip politik Islam dan landasan filosofis Pancasila yang menjadi landasan bagi stabilitas dan keberagaman politik di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan perdebatan kritis tentang bagaimana politik Islam berinteraksi dengan Asas Tunggal Pancasila, mencari keselarasan, dan mengidentifikasi potensi konflik yang mungkin timbul. Dengan menggali lebih dalam pada aspek-aspek esensial, artikel ini memberikan pemahaman komprehensif tentang peran politik Islam dalam kerangka ideologi nasional.

Kata Kunci : Asas Tunggal, Pancasila, Politik Islam.

Pendahuluan 

Dalam era politik Indonesia yang dinamis, perdebatan mengenai implikasi politik Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila menjadi isu yang penting. Meski Asas Tunggal Pancasila menegaskan prinsip keberagaman dan persatuan, namun pengaruh politik Islam boleh jadi menimbulkan pertanyaan sejauh mana nilai-nilai agama bisa hidup berdampingan dengan landasan ideologi nasional tersebut. Artikel ini akan mengkaji pengaruh politik Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila, mempertimbangkan potensi konflik, serta menggali kemungkinan keharmonisan yang menciptakan stabilitas dalam keragaman.

Pemahaman mendalam tentang Asas Tunggal Pancasila sangatlah penting dalam konteks politik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila sebagai Asas Tunggal merupakan landasan ideologi negara Indonesia. Pemahaman yang baik akan menjamin konsistensi dan harmonisasi dalam rancangan kebijakan dan institusi. Pancasila juga memuat nilai-nilai kebhinekaan dan persatuan. Pemahaman yang menyeluruh akan membuat kita lebih menghormati dan menghargai keragaman budaya, agama, dan suku yang dimiliki Indonesia. Pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila berkontribusi terhadap stabilitas politik dan sosial. Hal ini membentuk landasan yang kuat bagi toleransi, perdamaian, dan keharmonisan dalam masyarakat. Pancasila menjadi dasar bagi sistem demokrasi di Indonesia. Pemahaman yang baik terhadap asas ini mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi. Asas Tunggal Pancasila menekankan pada kedaulatan rakyat dan kemakmuran bersama. Pemahaman yang akurat mendukung upaya pemerintah untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Nilai moral dan etika dalam Pancasila menjadi landasan perilaku masyarakat. Pemahaman yang mendalam dapat memperkuat integritas dan tanggung jawab sosial. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap Asas Tunggal Pancasila, Indonesia dapat meletakkan landasan yang kokoh untuk mencapai tujuan nasional yang diinginkan, menjaga persatuan, dan melibatkan seluruh masyarakat dalam proses pembangunan.

Dalam mempertimbangkan implikasi tersebut, kita akan menelusuri sejarah perkembangan politik Islam di Indonesia dan menganalisis perubahan politik yang mungkin mempengaruhi interpretasi dan penerimaan Asas Tunggal Pancasila di masyarakat.

Pembahasan

Politik Islam di Indonesia terjadi bersamaan dengan lahirnya Negara Republik Indonesia,mulai dari masa orde lama di era Soekarno, hingga masa Reformasi saat ini. Pada masa orde baru, seluruh cabang Islam dan politik berpusat pada Pancasila sebagai asas tunggal. Salah satu momen politik penting yang memengaruhi jalannya gerakan Islam adalah diberlakukannya Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi, yang dikenal dengan kebijakan asas tunggal.

Penerapan Asas Tunggal Pancasila sebagai asas tunggal untuk partai politik di Indonesia hanya berdampak jangka pendek. Artinya, PPP mengalami penurunan suara yang signifikan pada pemilu 1987 dan 1992. Secara tidak langsung, Golkar menjadi semakin kuat dan OPP lain tak lagi mampu untuk bersaing dengan Golkar. Namun perlahan-lahan PDI dan PPP mulai mendapatkan kekuasaan di masyarakat  untuk mampu bersaing dengan Golkar.

Tujuan awal dari Pancasila adalah untuk menciptakan landasan bersama bagi berdirinya suatu negara yang merdeka, bersatu, dan modern di wilayah bekas jajahan Belanda. Pancasila dinilai cocok untuk masyarakat Indonesia tanpa memandang agama, suku atau daerah. Oleh karena itu, toleransi merupakan nilai sosial terpenting. Meskipun Indonesia mendasarkan agama pada filsafat, namun negara tidak mendukung salah satu agama.

Upaya sosialisasi Pancasila, khususnya dengan melakukan penataran P4 bagi seluruh PNS dan Pimpinan Parpol baik pusat maupun daerah dengan memperkenalkan Pendidikan Moral Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di lembaga pendidikan negeri dan swasta, melaksanakan pembangunan desa sebagai dasar strategi pendidikan, meningkatkan daya tahan aparatur negara dari tantangan, hambatan, dan gangguan ideologi.

Sebagai dampak dari adanya asas tunggal ini adalah pemerintah mempunyai landasan ideologi yang kuat dan terlibat langsung dalam kehidupan banyak orang, oleh karena itu, mereka memberikan dukungan dan partisipasi politik, adanya dukungan serta partisipasi masyarakat pada gilirannya akan mendukung keberlanjutan pembangunan dan memperkuat  posisi Orde baru itu sendiri serta terjadi politik deideologisasi.

Pandangan Tokoh:

  • Syafii Maarif: menyatakan bahwa jika Pancasila ingin menyatu dengan masyarakat Indonesia, maka harus membuka diri untuk menerima cahaya dari agama yang berorientasi pada nilai transedental yang lebih tinggi.
  • Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, Islam harus menjadi sumber moral dalam penerapan Pancasila.
  • Amien Rais: mengatakan bahwa persoalan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya merupakan tema sentral dalam al-Qur'an. Meski tatanannya berbeda, namun Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Islam adalah agama wahyu, namun Pancasila adalah Ideologi buatan manusia.

Tinjauan hubungan prinsip politik Islam dengan nilai-nilai Islam dalam Pancasila.

Prinsip utama dalam politik Islam adalah tauhid, atau keyakinan akan keesaan Tuhan. Pentingnya Pancasila terletak pada pengakuan terhadap keberagaman keyakinan agama yang selaras dengan nilai-nilai ketuhanan yang adil dan Beradab. Prinsip keadilan sosial dalam politik Islam sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, yang mengedepankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.  Kesejahteraan bersama memerlukan distribusi kekayaan dan hak-hak sosial yang seimbang. Prinsip musyawarah dalam politik Islam menciptakan partisipasi masyarakat pada saat pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan semangat konsultasi dan konsensus dalam Pancasila, serta menjamin partisipasi aktif dan inklusif dalam pengambilan kebijakan. Politik Islam menekankan hak asasi manusia berdasarkan ajaran agama. Pancasila juga mengakui hak asasi manusia dan meneguhkan martabat serta hak setiap individu tanpa diskriminasi. Prinsip moral dan etika dalam politik Islam berkaitan dengan nilai moral Pancasila. Kedua konsep ini menjadi landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Islam mendorong kerja sama antar negara. Disisi lain, Pancasila menjadi landasan kemitraan global yang adil dan beradab, serta mendorong perdamaian dan kerja sama internasional. Politik Islam menekankan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Pancasila juga mengedepankan perlindungan hak-hak minoritas melalui nilai-nilai keadilan sosial dan keberagaman. Pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan prinsip-prinsip politik Islam dan Pancasila akan memungkinkan terjadinya integrasi yang seimbang antara nilai-nilai agama dan ideologi nasional, sehingga meletakkan landasan bagi keharmonisan dalam pluralitas masyarakat Indonesia.

Pernyataan Gus Dur merupakan lanjutan dan penguatan dari apa yang telah dirintis oleh KH. Ahmad Sidiq yang kemudian disetujui oleh Munas NU tahun 1983 yang dikukuhkan sebagai 'deklarasi' penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal, yang berbunyi:

Pertama, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama.

Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

Ketiga, bagi NU, Islam adalah aqidah dan syariah yang mencakup aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

Keempat, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan wujud dari upaya umat Islam Indonesia dalam mengamalkan syariat agamanya.

Kelima, NU dalam kapasitasnya berkomitmen sebagai konsekuensi untuk menjaga pemahaman yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsisten oleh semua pihak.

Implikasi Kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pemberlakuan Asas Tunggal bagi Politik Islam 

Implikasi Politik Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila dapat menimbulkan ketegangan, karena Asas Tunggal Pancasila lebih menekankan pada gotong royong, sedangkan politik Islam mungkin lebih menekankan pada aspek keagamaan. Namun, harmonisasi antara nilai-nilai Islam dan Pancasila tidak menutup kemungkinan demi terciptanya keberagaman yang damai di Indonesia.

Para pemimpin Islam di negeri ini telah lama mencari solusi terhadap permasalahan yang menjadi perhatian bagi sebagian besar pengikut mereka. Setelah sekian lama terkurung oleh kebijakan diskriminatif penjajah, kemerdekaan memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berkembang. Namun setelah kemerdekaan diproklamirkan, gambaran kemiskinan dan keterbelakangan masih tetap ada. Mayoritas umat Islam di Indonesia tertinggal jauh karena berbagai alasan, termasuk rendahnya tingkat pendidikan, sektor pekerjaan yang kurang menguntungkan, rendahnya kualitas hidup secara fisik dan rendahnya status sosial ekonomi.

Harapan pertama menjelang kemerdekaan muncul ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan pertemuan untuk memutuskan dasar-dasar negara, sebagaimana tercantum dalam "Piagam Jakarta" (22 Juni 1945), yang merupakan kesepakatan untuk dicapai antara kelompok Islam dan nasionalis. Dalam Piagam Jakarta sila pertama memuat kalimat "...dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Hal ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan Pancasila di kalangan mayoritas Islam di Indonesia. Namun ternyata tujuh kata terakhir dalam sila pertama Pancasila tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan minoritas Kristen yang  menolak akan memisahkan diri dari negara kesatuan Indonesia.

Sadar akan dampak yang negatif tersebut, maka PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) serta para pemimpin dan umat islam yang berjiwa dermawan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, pada bulan Agustus 1945 tepatnya ditanggalkan 18, secara bulat setuju untuk menghapus tujuh kata ini. Menurut sebagian orang, penghapusan tujuh kata tersebut dianggap sebagai kekalahan politik bagi perwakilan Islam.

Harapan kedua muncul dengan tumbangnya rezim Orde Lama. Dimana pada titik ini seluruh elemen masyarakat Islam serta gerakan militer dan mahasiswa bersama-sama menumbangkan rezim Orde lama dan menumpas habis PKI yang telah mengkhianati UUD 1945 dan Pancasila. Pada awal perjalanannya terlihat jelas bahwa pemerintah Orde Baru tidak ada bedanya dengan Orde lama. Hal ini tercermin dalam pedoman politik Islam yang dikeluarkan oleh negara Orde Baru. Bekerja sama dengan ABRI dan para teknokrat (yang sebagian besar beragama Kristen), negara Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan menjadi rezim otoriter yang lamban dalam menerapkan kebijakan, terutama terkait dengan isu-isu Islam.

Dasar Kebijakan Asas Tunggal Pancasila adalah kesatuan yang diupayakan oleh pemerintah Orde Baru dalam bidang ideologi, dan dianggap sebagai dasar Orde Baru yang mana perbedaan ideologi yang merupakan akar perpecahan Bangsa. Asas Tunggal Pancasila bertujuan untuk mencapai stabilitas politik dan keamanan nasional sebagai unsur terpenting dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, seluruh kekuatan sosial politik terpaksa harus mengubah dasarnya ke Pancasila.

Kebijakan pemerintah Orde Baru selanjutnya adalah berusaha melemahkan dan menghilangkan ideologi komunal agar ideologi nasional tidak lagi terganggu. Hal ini terlihat pada kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru seperti depolitisasi deideologisasi yang jelas bertentangan dengan semangat partai-partai Islam.

Kebijakan depolitisasi politik Islam ini dimulai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1973 yang mengatur penyederhanaan dan penggabungan (fusi) sembilan partai politik pada pemilu 1971 menjadi tiga partai politik pada pemilu 1977. Setelah berhasil menjalankan program deparpolisasi, negara Orde Baru melanjutkan dengan program deideologisasi, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang No. 3 dan 8 Tahun 1985 memuat perlunya penerapan asas tunggal Pancasila bagi organisasi sosial politik dan kemasyarakatan.

Beberapa poin kebijakan Orde Baru:

  • TAP No.XX/MPRS/66 menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
  • TAP No.II/MPR/1978 menetapkan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4).
  • Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 menetapkan Pancasila sebagai asas Partai Politik.
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menetapkan Pancasila sebagai asas Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Semula gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Soeharto pada Agustus 1982.  Penyatuan ideologi bagi seluruh komponen masyarakat dan negara bertujuan untuk menyelesaikan langkah-langkah menghilangkan konflik ideologi guna, guna membangun tatanan politik pengambilan kebijakan yang bersifat konsensus tanpa konflik ideologi.

Reaksi umat Islam terhadap gagasan asas tunggal sangat beragam. Sejumlah tokoh Islam menyatakan menolak keunikan asas ini. Penolakan ini didasari kekhawatiran bahwa Pancasila akan menggantikan fungsi agama sehingga berujung pada terbentuknya negara sekuler dan pada akhirnya meminggirkan peran agama. Sikap reaksioner ormas Islam terhadap asas tunggal Pancasila paling jelas terlihat dalam peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa ini diawali dengan serangkaian pidato dan khutbah yang menyerang berbagai kebijakan diskriminatif rezim Orde Baru khususnya terkait asas tunggal Pancasila. Pemerintah Orde baru menyikapi sebagian umat islam dengan represif fisik. Peristiwa berdarahpun terjadi. Peristiwa ini dikenal dengan nama "Peristiwa Tanjung Priok". Ini mungkin merupakan peristiwa yang paling berdarah yang terjadi pada masa umat Islam berada di bawah rezim Orde Baru, setelah kejadian ini, banyak para ulama dan pemimpin Islam yang ditangkap oleh militer.

Sikap reaksioner lainnya datang dari kelompok yang disebut "Petisi 50" yang terdiri dari mantan pimpinan Masyumi dan para purnawirawan ABRI. Mereka mengeluarkan "pernyataan keprihatinan" kepada DPR dengan tuduhan bahwa Soeharto telah salah memahami Pancasila.

Pernyataan tersebut juga menuding Presiden menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menyerang lawan politik, padahal para founding fathers negara hanya menggunakannya sebagai alat untuk pemersatu bangsa. Ada pula tanggapan mendasar dari para politisi Islam, termasuk Deliar Noer, seperti dikutip oleh Faisal Ismail. Noer menjelaskan, gagasan pemerintah untuk memperluas Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik dan ormas mencerminkan kecenderungan mengekang dan membatasi aspirasi masyarakat, suatu tindakan patut dihindari dalam kehidupan demokrasi. Noer juga melihat hal ini sebagai upaya pemerintah untuk menerapkan kediktatoran suatu partai.

Dengan keadaan seperti ini, keberadaan banyak Indonesia partai politik di Indonesia hanya sekedar formalitas. Jika benar demikian, kita perlu membahas mengenai implementasi di Indonesia. Lebih lanjut, Noer menambahkan penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal membuat para pihak tidak bisa menyatakan program pilihannya karena program-program tersebut memiliki nilai dan kriteria penilaian yang sama. Hal ini akan membuat partai politik menjadi kurang kompetitif dalam menawarkan programnya, dan pada akhirnya akan melemahkan dukungan masyarakat terhadap partai tersebut. Prinsip-prinsip khusus sebuah partai harus bertahan dalam ujian waktu karena mempengaruhi gaya dan tujuan yang membedakan masing-masing, tambah Noer.

Namun, dengan berbagai reaksi keras dari para politisi Islam, ormas Islam dan elemen masyarakat Islam pasar umumnya menyebabkan rezim Orde Baru berupaya untuk semakin melegitimasi Pancasila dan menjadikannya sebagai asas tunggal politik dan ormas. Dengan dukungan ABRI, pemerintah Orde Baru akan mengambil tindakan tegas dan membubarkan organisasi politik dan organisasi massa yang tidak menerima asas tunggal Pancasila.

Dengan diterapkannya asas tunggal Pancasila, PPP sebagai satu-satunya partai politik yang berlandaskan Islam harus menghapuskan asas Islam dan menggantinya dengan asas Pancasila. Artinya perjuangan dan perjalanan Politik Islam Indonesia melalui jalur politik praktis telah mengalami kekalahan terbesar dalam sejarah perkembangan politik Islam Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan, para pemimpin dan aktivis Islam telah menyadari bahwa peningkatan taraf hidup umat Islam, sebagaimana diuraikan diatas, memerlukan perjuangan politik yang secara khusus menjawab keinginan mereka untuk merebut kekuasaan. Sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan pemikiran orang lain dan untuk mempengaruhi tindakan dan pemikiran orang lain serta mempengaruhi tindakan dan pemikiran orang lain dalam proses pengambilan kebijakan publik. Apapun tujuan utamanya, semua aktivis harus mencapai tujuan yaitu memperoleh kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat dan proses politik. Tujuan akhir dari pengentasan kemiskinan di kalangan masyarakat tentunya memerlukan kemampuan untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan.

Rangkuman persoalan politik dan kekuasaan selalu melekat dalam setiap perjuangan. Dalam pengertian ini, perjuangan politik untuk membebaskan umat Islam dari kemiskinan dan keterbelakangan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Artinya memberdayakan masyarakat agar lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya sendiri.  Oleh karena itu, strategi awal para pemimpin Islam adalah mengislamkan negara demi kemaslahatan masyarakat. Strategi ini didasarkan pada pemikiran  bahwa negara harus mengatur kehidupan masyarakat Islam berdasarkan hukum Islam.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi umat Islam pada saat itu, para pemimpin Islam meyakini bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang mandiri harus mencerminkan hukum Islam. Romantisme awal perjuangan di masa awal kemerdekaan mendorong para pemimpin Islam untuk mengambil kebijakan yang bersifat aktivis, namun seringkali berakhir dengan konflik. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari perjuangan memasukkan syariat islam ke dalam konstitusi (melalui Piagam Jakarta) dan penguasaan  lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, hingga perjuangan fisik. Mulai dari penggunaan simbol-simbol Islam untuk menonjolkan identitas dan membedakan dengan partai politik lain, hingga penguasaan birokrasi pemerintahan oleh kementerian Agama. Setidaknya hingga akhir 1980an, hampir seluruh upaya tersebut gagal. Kelompok "Islam Politik" jelas tidak cukup kuat untuk memaksa penguasa memenuhi  tuntutan mereka. Pada akhirnya, kekuatan politik praktis Islam mengalami kekalahan terbesar karena  tidak mampu lagi mempertahankan ciri-ciri dan prinsip fundamental Islam.

Ternyata berbagai kebijakan terhadap politik Islam rezim Orde Baru yang diakhiri dengan pemerapan asas tunggal Pancasila yang memberikan pengaruh yang besar terhadap perjuangan politik Islam di masa depan. Setelah  strategi Islamisasi negara demi masyarakat gagal, karena ditindas sepenuhnya oleh rezim Orde Baru, generasi Islam muncul dengan kualitas intelektual yang lebih baik dan pemikiran yang modern muncul pada tahun 1970an. Mereka mengungkapkan gagasan yang berbeda dari pendahulunya.

Situasi sosiologis pasca berdirinya asas tunggal Pancasila, strategi Islamisasi negara untuk kepentingan masyarakat sebagai penentang rezim Orde Baru sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karena itu, para pemikir dan aktivis muda Islam mulai memikirkan cara terbaik bagi umat islam untuk  melepaskan diri dari citra negatif yang telah melekat pada Islam.

Strategi politik Islam yang paling menonjol setelah diberlakukannya asas tunggal Pancasila adalah para pemikir dan aktivis Islam mulai mencoba  beradaptasi dengan rezim Orde Baru. Apalagi, ormas sosial, politik dan islam sudah tidak lagi menggunakan Islam sebagai basis ideologinya. Oleh karena itu, rezim Orde Baru meyakini dengan diterimanya asas tunggal Pancasila bagi organisasi politik dan organisasi massa Islam, maka ketakutan terhadap "Islam Phobia" akan hilang. Sebab, rezim Orde Baru sudah lama mengkhawatirkan islamisme kecui politik bisa dikendalikan dan berusaha tumbuh dan berkembang serta  mendirikan negara Islam.

Sikap damai ini diungkapkan dengan berbagai cara oleh para pemimpin dan aktivis Islam dengan beberapa cara yaitu : (1) Pembentukan aliansi dengan beberapa tokoh "dalam"; (2) Pembentukan "kelompok kepentingan" yang berpusat pada para ahli, pengusaha, dan aktivis sosial baik di dalam maupun di luar pemerintahan Orde Baru; dan (3) Penekanan pada "lobbying" tingkat tinggi. Hal ini bertujuan agar politik Islam tidak lagi menjadi ancaman yang mengerikan bagi rezim Orde Baru.

Selain strategi di atas, strategi yang dipilih menekankan pada upaya pengembangan politik agar politik Islam tetap eksis dalam sejarah perpolitikan di  Indonesia, maka strategi yang dipilih adalah dengan mengembangkan politik Islam melalui jalur budaya dan membangun kapasitas politik masyarakat melalui strategi Islamisasi masyarakat serta memastikan bahwa politik Islam bertujuan untuk tetap eksis dalam negara nasional. Penekanan pada inisiatif kebudayaan pertama kali dikemukakan oleh Nurcholis Madjid yang menekankan konsep "sekularisasi" dengan slogan "Islam Yes, Politik Islam, No". Harapan dari upaya ini adalah untuk menumbuhkan perjuangan Islam dan gerakan sosial budaya yang lebih luas dan kemudian akan memungkinkan umat Islam untuk menjawab tantangan zaman  mereka dan melepaskan diri dari lingkungan politik lama yang terpecah belah, sempit dan elitis.

Di sisi lain, gagasan penekanan pada upaya peningkatan kapasitas politik masyarakat dikembangkan oleh Abdurrahman Wahid yang mengemukakan beberapa gagasan seperti : (1) tingkat penekanan pada upaya "Community by development" untuk meningkatkan kondisi kehidupan penduduk kelas bawah; (2) Mencari alternatif terhadap peran pemerintah yang berlebihan; dan (3) penggunaan jaringan organisasi non-pemerintah.

Berdasarkan pada realita yang dipaparkan penulis paparkan di atas, setelah diberlakukannya sila Pancasila, dampak yang ditimbulkan terhadap politik Islam di Indonesia adalah perjuangan politik Islam tidak mengalami stagnasi, namun politik Islam tidak lagi mengalami stagnasi akan tetapi perjuangan tersebut dialihkan melalui jalur kultural (budaya) yang berpihak pemerintah Orde baru.

Diterimanya asas tunggal Pancasila oleh ormas Islam semakin memperkuat ukhuwah Islamiyah. Mereka belajar banyak dari pengalaman partai politik dan organisasi massa Islam sebelumnya yang terpecah belah di masa lalu. Secara umum, mereka menerima Pancasila sebagai asas tunggal melalui cara musyawarah mufakat untuk menghindari oknum-oknum penyelenggara yang menyusup ke pemerintah sambil menyikut kawan-kawan seperjuangannya. Mereka juga berupaya meminimalisir campur tangan pemerintah dalam urusan internal suatu organisasi. Pengalaman HMI dan PII semoga bisa menjadi pembelajaran bagi ormas Islam. Di sisi lain, "kecurigaan" terhadap pemerintah pun semakin berkurang. Menyikapi Sikap damai umat Islam pasca pemberlakuan asas tunggal Pancasila di rezim Orde Baru pemerintah menyikapinya dengan sikap serupa, dan dimulailah hubungan saling mendamaikan antara kedua belah ppihak.Hal ini sangat mungkin terjadi karena posisi mayoritas umat islam percaya bahwa politik Islam benar-benar membutuhkan dukungan umat Islam untuk melegitimasi kekuasaannya.  

Perkembangan positif ini terus berlanjut, misalnya dengan pencabutan larangan muslimah berhijab di sekolah, pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, pengiriman da'i ke daerah pendatang, pembentukan ICMI, berditinya kiprah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila pimpinan Presiden Soeharto, Bank Muamalat, "penghijauan" di DPR/MPR Kabinet Pembangunan VI dan pengurus DPP Golkar pada tahun 1993/1998, serta upaya pemberantasan kriminalitas dan pornografi.

menurut Din Syamsuddin, fenomena saling akomodasi antara Islam dan Negara yang semakin transparan pada dekade 1990-an bisa saja terjadi dari dua arah proses yang berbeda, yaitu depolitisasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dan reaksi kaum muslimin tersebut telah mendorong kebangkitan Islam di Indonesia. Pada bagian lain, Bahtiar Effendy berpendapat bahwa harmonisnya hubungan antara Islam dan Negara sebagian besar disebabkan oleh munculnya intelektualisme Islam baru yang akarnya dapat ditemukan pada awal tahun 1970-an. Upaya pertama yang dilakukan pada tahun 1970-an dan berhasil mentransformasikan pemikiran dan politik Islam di Indonesia, yang awalnya bersifat formalis-legalisme menjadi substansialisme. Substansialisme Islam yang kuat ini melahirkan bentuk baru politik Islam dalam format baru yang memandang bahwa ciri-ciri utamanya meliputi : landasan teologis, tujuan dan pendekatan Islam Politik sejalan dengan struktur negara kesatuan.

Setelah era penindasan Islam berakhir, rezim Orde Baru memberikan banyak kemudahan. Puncaknya adalah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ini adalah tanda terpenting kebangkitan politik Islam yang paling berkesan. Dengan demikian jelas bahwa kemunculan ICMI merupakan keuntungan tersendiri bagi Politik Islam dan telah memberikan keuntungan besar bagi politik Islam dan mengubah sifat hubungan antara Islam dan Negara. Namun kemunculan ICMI membawa keuntungan dan kerugian baik bagi negara-negara Islam maupun non-Islam.

Penyebab kesalahpahaman di kalangan umat Islam juga kini sangat beragam. Deliar Noer dan Ridwan Saidi misalnya, mengatakan pembentukan ICMI dengan dukungan  presiden hanyalah sarana memilih kembali Presiden. Sementara itu, ketua Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa ICMI bersifat sektarianistik. Para pendukung ICMI yakin bahwa ICMI dapat mempersatukan masyarakat sehingga proses pembangunan negara.

Di dalam realitanya mungkin benar, situasi politik di Indonesia telah mengalami perubahan yang luar biasa sejak tahun 1990-an, dengan artikulasi Islam yang makin menonjol. Islam semakin mengemuka, dan menurut Rusli Karim ada enam faktor yang mempengaruhinya. Pertama, masa penolakan terhadap Pancasila oleh kelompok Islam berakhir setelah kelompok Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam politik dan organisasi. Kedua, kehadiran dua tokoh yang dekat dengan Soeharto yaitu Habibie dan Munawwir Sadjali meyakinkan Soeharto bahwa umat Islam bukanlah ancaman bagi rezim. Ketiga, meski kesadaran keagamaan semakin meningkat dan adanya tekanan dari rezim, umat Islam tidak berhenti berjuang. Keempat, mengingat para intelektual Muslim, bermunculan untuk membangun masa depan Indonesia berdasarkan kekuatan besar yang mereka miliki, maka tidak bisa dihindari bahwa  rezim akan menyia-nyiakan potensi besar yang dimiliki umat Islam. Kelima, kondisi pribadi Soeharto sendiri yang semakin menua dan ingin mengakhiri jabatannya dengan cara yang bijaksana tanpa merugikan kelompok Islam. Keenam, pertolongan dari Tuhan. Selain itu, kebangkitan politik Islam juga dapat dilihat dari sudut pandang sosiologis masyarakat, yaitu kelas menengah Muslim di perkotaan yang mulai merambah ke atas.

Perubahan sosio-ekonomi-politik selama dua dekade terakhir masa Orde Baru (sebelum lahirnya ICMI) menyebabkan perluasan kelas menengah Muslim perkotaan. Pada akhir tahun 1980-an, mereka mulai merambah wilayah sosial-ekonomi-politik yang strategis. Oleh karena itu, sulit bagi negara untuk mengabaikan kekuasaan dan kepentingannya.

Negara bahkan ditekan untuk menyediakan akomodasi dan keterwakilan yang lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini politik Islam  mengalami pasang surut pada akhir pemerintahan Soeharto. Di sisi lain ada faktor yang lebih penting, yaitu pencopotan Jenderal LB Moerdani dari pos komando ABRI yang merupakan akibat perbuatan Beny sendiri, oknum tersebut disebut mengancam Soeharto dan menunjukkan tanda-tanda perlawanan, selain itu menurut Leo Suryadinata, beberapa jenderal meragukan kepemimpinan Soeharto.

Faktor-faktor ini menyebabkan rezim mempertimbangkan kembali  hubungannya dengan kelompok-kelompok Islam yang sebelumnya mereka marginalkan. Kedekatan Islam dan Negara tentunya disebabkan oleh menyatunya dua kepentingan yang saling membutuhkan. Perlu juga ditekankan pada poin ini bahwa kelompok Islam secara bertahap menjadi lebih berhasil dalam membentuk aliansi dengan kelompok lainnya, terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi serta segala jenis institusi modern. Mengingat jumlah yang besar tersebut, wajar jika ia diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Indonesia di masa depan.

Peristiwa hubungan persahabatan antara Islam dan Negara yang digambarkan penulis  di atas dapat dianalisis sebagai berikut : Pertama; inisiatif akomodasi bersama, seperti RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dan lain sebagainya. Umat Islam kerap meresponnya dengan mencabut larangan berjilbab di sekolah, penghapusan SDSB/Bapindo, tragedi Nipah dan berbagai demonstrasi lainnya. Kedua, dalam beberapa kasus lain, seperti pendirian ICMI dan pelaksanaan program-programnya, pendirian Bank Muamalah, dan pengiriman da'i ke daerah transmigran. Ketiga, atas dasar ini, umat islam sebenarnya tidak berperan dalam perumusan kebijakan nasional. Hubungan  saling mendamaikan Islam dan Negara berlangsung melalui dua arah. Arah pertama, negara (state) memperhatikan kepentingan Islam. Arah kedua, umat Islam mendukung negara. Keempat, kelompok sempalan yang bertujuan mendirikan Negara Islam di Indonesia, seperti GPK Warsidi di Lampung dan kelompok Pandeglang di Pandeglang (1994). Namun, gerakan-gerakan tersebut umumnya tidak mendapat dukungan dari umat Islam.

Kerugian politik Islam Indonesia pasca pemberlakuan asas tunggal Pancasila, dapat dianalisa sebagai berikut yaitu keberadaan partai politik yang ideologi Islam lenyap, dan akibatnya umat Islam tidak lagi bisa berpartisipasi dalam politik. Di sisi lain, pemerintah Orde Baru yang meneruskan kebijakan Snouck Hurgonye yang melemahkan pengaruh politik Islam melalui penghinaan dan marginalisasi umat Islam, serta mereduksi umat islam menjadi minoritas psikologis, memiliki berbagai jenis kebijakan. Sekuat apapun dan kreatifnya Islam secara politik, Islam tidak akan pernah memimpin satu mayoritas.

Simpulan 

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat  bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bertujuan untuk memperkuat kekuasaan politik dan mencapai tujuan politiknya, terutama untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan mencapai stabilitas politik. Rezim Orde Baru menetapkan beberapa cara antara lain menetapkan kebijakan depolitisasi yang sistematis terhadap seluruh kekuatan sosial dan politik, khususnya organisasi politik. Cara tersebut diwujudkan dalam Undang-undang pertama yang menghapuskan ideologi politik dan menetapkan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Pemerintah Orde baru meyakini bahwa pluralisme ideologi menyebabkan konflik yang berkepanjangan dan pada akhirnya menghambat pembangunan nasional.

Implikasi kebijakan rezim Orde Baru yang menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi politik Islam adalah umat Islam mulai bersikap akomodatif terhadap negara dan tidak lagi muncul sebagai penentang melainkan pendukung utama Orde Baru. Terlebih lagi, umat Islam berupaya untuk memajukan Islam dengan meninggalkan jalur politik struktural pragmatis (Partai Islam) dan menggantinya dengan jalur budaya yaitu dalam upaya memperjuangkan Islam dengan basis yang lebih luas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun