Mohon tunggu...
Lince Novertina Bawamenewi
Lince Novertina Bawamenewi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Jadilah pribadi menurut versimu sendiri 👁☑️

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mengapa Kita Perlu Diam dalam Era Komentar Tanpa Batas?

14 Juli 2025   11:02 Diperbarui: 14 Juli 2025   09:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Seorang Laki-Laki yang Menyendiri (Sumber: Pixabay/Kaisersosa)

Kita hidup di zaman yang bisa disebut sebagai "era komentar tanpa batas." Semua orang bisa berbicara, berkomentar, mengkritik, menyampaikan pendapat baik yang membangun maupun yang menjatuhkan dengan sangat mudah.

Media sosial, forum diskusi, bahkan ruang percakapan sehari-hari telah menjadi tempat di mana opini berseliweran tanpa jeda. Sayangnya, kebebasan berbicara ini tidak selalu diiringi dengan kebijaksanaan dalam menyuarakan isi hati atau pikiran.

Di tengah kebisingan itulah saya mulai merenung: kapan sebaiknya kita berbicara, dan kapan seharusnya kita memilih diam? Sebagai pribadi yang cenderung tenang, saya sering kali memilih untuk diam dalam banyak situasi, terutama jika saya menilai bahwa pendapat saya tidak terlalu dibutuhkan, atau justru akan memperkeruh suasana.

Namun, bukan berarti saya selalu bungkam. Ada kalanya saya merasa perlu bersuara, terutama ketika kebenaran harus ditegakkan, atau ketika diam justru berarti membiarkan ketidakadilan menang.

Diam bukan berarti lemah. Justru diam bisa menjadi tanda bahwa seseorang sedang berpikir, menganalisis, atau memfilter informasi sebelum mengambil tindakan.

Dalam dunia yang penuh reaksi cepat dan emosi meledak-ledak, diam adalah bentuk kontrol diri yang langka namun sangat berharga.

Diam Bukan Berarti Tidak Peduli

Banyak yang salah paham bahwa seseorang yang diam berarti tidak peduli atau tidak punya pendapat. Padahal, diam sering kali adalah bentuk kepekaan. Diam adalah keputusan sadar untuk tidak ikut dalam hiruk-pikuk yang tidak membangun.

Dalam kehidupan saya, saya belajar bahwa tidak semua komentar perlu dibalas, dan tidak semua perdebatan harus dimenangkan. Kadang, kita justru perlu membiarkan sesuatu berlalu agar tidak menimbulkan luka yang lebih dalam.

Kebiasaan saya untuk diam dalam situasi tertentu bukan berarti saya tidak mampu berbicara. Saya memilih untuk mengukur dampak dari setiap kata yang akan saya keluarkan.

Saya bertanya pada diri sendiri: apakah ini akan membawa damai? Apakah ini akan memberi pengaruh positif? Jika jawabannya tidak, maka diam adalah pilihan terbaik.

Ketika Diam Menjadi Tindakan Bijak

Salah satu kutipan yang selalu saya ingat adalah, "Orang bodoh pun akan disangka bijak jika ia diam." Pepatah ini mengingatkan bahwa ada kekuatan dalam keheningan.

Ketika dunia berisik dengan opini, argumen, dan gosip, mereka yang bisa tenang justru menjadi sumber keteduhan. Dalam situasi konflik, diam sering kali lebih menyembuhkan daripada perkataan yang berapi-api.

Dalam menghadapi gosip, diam adalah perlindungan terbaik dari fitnah. Namun, saya pun menyadari bahwa tidak semua situasi bisa disikapi dengan diam. Ada waktu di mana kita harus bersuara.

Ketika kebenaran dipelintir, ketika yang lemah ditindas, ketika nilai-nilai kebaikan diinjak di sanalah suara kita dibutuhkan. Diam dalam ketidakadilan adalah bentuk pembiaran. Maka, saya pun belajar menyeimbangkan: kapan saya harus tenang, dan kapan saya harus tegas.

Menjaga Kesehatan Mental dengan Tidak Ikut Semua Percakapan

Di era digital, kita terpapar pada terlalu banyak informasi dan opini. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa ikut tenggelam dalam gelombang emosi dan tekanan sosial.

Dengan memilih diam dan tidak ikut dalam setiap percakapan, saya merasa lebih damai. Saya tidak harus membuktikan apa-apa kepada siapa pun. Saya tidak harus selalu benar.

Saya cukup menjadi versi terbaik dari diri saya, dengan tetap memelihara integritas dan ketenangan batin.

Penutup: Diam Sebagai Bentuk Kedewasaan

Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk selalu diam. Saya hanya ingin berbagi bahwa dalam era komentar tanpa batas ini, kita perlu belajar untuk menahan diri.

Tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak semua perdebatan harus dimenangkan. Kadang, menjadi dewasa artinya mampu memilih diam bukan karena tidak punya suara, tetapi karena tahu kapan suara itu dibutuhkan.

Diam bukan kelemahan. Diam adalah kekuatan. Diam adalah ruang untuk mendengar, untuk mengolah, dan untuk menyikapi hidup dengan lebih bijak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun