Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Si Gadis Hering

12 Februari 2020   12:10 Diperbarui: 13 Februari 2020   18:25 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sampah! Ngapain kamu di sini? Kamu harusnya di sana tuh," bentak Kirana kapten cheers sambil menunjuk ke tumpukan sampah tak jauh dariku.

"Udah jorok. Goblok lagi! Ditambah otak kamu yang nggak berfungsi alias mandul. Pergi sana!" seru anak lain.

Biasanya aku cuek dan tidak peduli dengan ledekan orang lain. Tetapi entah mengapa sejak aku mempergoki ayahku bermalam dengan seorang perempuan dua minggu lalu. Seminggu kemudian kudengar ayah hendak menikah lagi dengan seorang tante matre beranak tiga, dimana tente itu pernah membentak dan mengancamku. Pada hari yang sama aku menemui dokter Rani karena setahun terakhir aku semakin sering pingsan dan sakit kepala hebat, sedangkan tidak ada seorangpun merawatku. Pada saat itu aku tahu ada sesuatu yang sangat buruk bersemayam di tubuhku.

Tepatnya tiga hari yang lalu aku menjadi orang yang berantakan, mudah emosi dan enggan pergi ke sekolah. Terutama berubahnya Aendri, sahabatku satu-satunya yang katanya dilarang pacar barunya untuk berteman denganku lagi.

Aku memandang anak-anak yang meledekku. Di sana kulihat Aendri berdiri dan tertawa melihatku disiram kuah bakso. Mataku berkaca-kaca berusaha mengakui tidak ada orang yang menjadi temanku lagi. Aku membiarkan mereka membuliku, melempariku dengan sampah, dan menyeretku ke tumpukan sampah. Aku dibanting di sana. Mereka tertawa sekeras-kerasnya melihatku tertatih mencoba untuk berdiri.

"Ibu, tolong aku..." pekikku perlahan.


"Ibu kamu kan sudah mati," kata seorang anak yang tak lain adalah Aendri.

"Jorok! Goblog!"

Aku tersenyum mendengarnya. Aku malah ingin sekali mengucapkan terima kasih pada Aendri yang selama ini bersedia menjadi sahabatku. Namun hatiku sakit sekali ternyata dia bukanlah sahabat sejati. Mataku semakin kabur dan kepalaku berdenyut hebat sekali. Aku mencoba berlari dari kerumunan namun aku malah jadi tontonan banyak orang.

Aku tidak ingat apa-apa lagi.

"Pagi, Kika. Kamu sudah bangun?" tanya Dokter Rani padaku. Aku hanya mampu mendengar. Aku tidak bisa berbicara karena lidahku kaku. Dokter Rani mengelus kepalaku. Aku mengenalinya sejak kecil. Dia teman baik ibuku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun