Dua hal ironi, hari raya dan hutang. Hari raya adalah hari bahagia, hari kebahagiaan buat para muslim sedunia. Hari suka cita berkumpul bersama anggota keluarga yang jauh maupun yang dekat.
Namun, saya cukup tercengang melihat sebuah narasi di media online, bahwa lebih dari 50% warga Indonesia berhutang saat hari raya tiba .
Wow... Sebuah data yang fantastis. Fakta yang lain bahwa konsumsi makanan dan belanja persiapan untuk hari raya meningkat tajam di bulan ramadhan.
Apakah hal tersebut sesuai dengan pendapatan yang meningkat, atau kebutuhan yang meningkat atau keinginan yang meningkat atau karena tidak bisa menghindari tradisi di saat kondisi ekonomi memang sedang sulit.
Persebaran uang memang terjadi dimana-mana, dari kota sampai desa, mulai dari bagi bagi hampers ke rekanan sampai uang baru hari raya yang dibagi-bagikan ke keluarga dan handai taulan, utamanya anak - anak dengan tradisi angpao hari raya.
Namun jika hal itu diperoleh dengan berhutang, sebuah kebahagiaan sesaat yang menimbulkan pikiran bahkan beban setelahnya, astaghfirullah.
Ada saatnya kita harus mengambil langkah tegas untuk tidak berhutang untuk konsumsi. Gunakan saja yang ada tanpa tambahan hutang.
Ada saatnya hati ini harus kuat ketika kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja, disaat waktunya berkumpul dengan anggota keluarga.
Ada saatnya kita memang harus cuek dengan tradisi di saat kantong lagi kering. Mungkin ia banyak yang mencibir, membuat omongan dibelakang kita. Lagi miskin dan sebagainya, tapi ya sudahlah, tebalkan telinga untuk kebahagiaan diri bebas dari hutang.
Namun kita memang harus menguatkan iman dan berulang kali berkaca tentang kondisi ekonomi sebenarnya.
Ada kalanya juga kita tidak berharap balasan apa yang sudah kita berikan kepada orang lain di saat hari raya.
Agar tidak timbul masalah hutang setelahnya, ada kalanya memang tidak mudik ketika kondisi ekonomi sedang buruk, sedang tidak cukup, insyallah saudara di kampung halaman akan menyadari.
Kita cukupkan silaturahmi dengan media online. Paham atau tidak paham orang lain, begitu emang kenyataannya. Mau tidak mau harus kita terima.
Memang pahit, memang sulit, tapi dari pada jaga gengsi mending jaga harga diri sendiri, menjaga kewarasan diri di masa masa setelahnya yang pasti sulit.
Di satu sisi kita juga belajar memahami orang lain ketika memang mereka lagi sulit, jika memang tidak bisa membantu yang paling tidak cukup memberikan support agar sama sama kuat bertahan.
Badai pasti akan berlalu, bersama kesulitan ada kemudahan. Semoga ekonomi kita terus membaik dari waktu ke waktu. Masih luas ikhtiar dan doa. Langitkan doa agar bisa membahagiakan keluarga di masa masa selanjutnya. Insyaallah.
Terimakasih dan semoga bermanfaat.