Mohon tunggu...
LILIS MUCHLISOH
LILIS MUCHLISOH Mohon Tunggu... Jurnalis - -

saya Lilis Muchlisoh Tujuan dibuatnya adalah menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh para pembaca untuk bisa mengenal sosok seseorang yang diceritakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemberian Kritik: Harus Sopan atau So Fun?

22 Juli 2021   21:55 Diperbarui: 22 Juli 2021   22:08 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sopan kah begitu?"Kurang lebih, begitulah ekspresi dari para relawan Jokowi atau Projo ketika majalah Tempo dianggap menghina orang nomor 1 di Republik Indonesia. Tempo dinilai sebagai pers yang menghina presiden karena disamakan dengan Pinokio. Tentunya, Tempo membantah hal tersebut. Tempo menilai bahwa mereka tidak menghina pak Jokowi dengan Pinokio, melainkan hanya bayangannya saja. Setelah dimintai keterangan, pak Jokowi sendiri pun memberbolehkannya.

Sumber: Majalah Tempo 

Sampul majalan ini muncul pada 2019, spesifiknya edisi 16 -- 22 September. Ini dibuat sebagai bentuk kritik terhadap presiden karena dinilai melemahkan KPK sebagai lembaga independen melalui revisi UU KPK No 30 Tahun 2002. Yang menjadikan sampul ini dipermasalahkan adalah presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap mirip dengan Pinokio.

Sebagai informasi, Pinokio adalah karakter dalam animasi Disney yang memiliki keunikan, yaitu hidungnya menjadi panjang ketika berbohong. Dengan kata lain, ada anggapan bahwa Jokowi dianggap seperti Pinokio ketika hidungnya panjang melalui bayangannya, yaitu berbohong. Alasan itulah mengapa tag line majalahnya adalah "Janji tinggal janji" ('hanya janji saja, tidak ada perwujudannya')

Ketika melihatnya, saya (secara pribadi) merasa bahwa ini adalah bentuk kritik kreatif. Dengan adanya kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi visual, kritik bisa diberikan melalui gambar digital. Salah satunya adalah sampul majalah Tempo yang memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan kritik. Dengan memadukan unsur karakter Disney dan realita, kritik ini memberikan makna yang mendalam. 

Namun, pihak istana dan pak Jokowi sendiri (dari dulu sampai sekarang) selalu menekankan etika dalam kritik. Masalahnya, apakah kritik harus beretika? Selain itu, apakah kritik bisa sewenang-wenang atau seenaknya sehingga menimbulkan efek so fun (hanya digunakan untuk sensasi bersenang-senang)? Jawaban dari pertanyaan inilah yang melatarbelakangi penulisan esai ini.

Pada dasarnya, kritik adalah bentuk pemberian masukan atau saran dalam bentuk pertimbangan atau penjelasan perihal baik-buruknya suatu tindakan, karya, dan sebagainya. Segala saran atau masukan baru dapat dikategorikan sebagai bentuk kritik jika (dan hanya jika) hal tersebut mengandung pertimbangan baik atau buruk. Dengan kata lain, kritik mengandung pujian atau makian. Bisa saja dua-duanya sekaligus.

Sebagai negara hukum sekaligus demokrasi, Indonesia merupakan negara yang mengedepankan esensi demokrasi dalam pemerintahannya. Pemerintah yang menerapkan sistem demokrasi harus dapat terbuka terhadap berbagai reaksi masyarakatnya, mengingat esensi pemerintahnya bukan sebagai raja atau tuhan, melainkan wakil rakyat 'orang yang mewakili masyarakat'. Pemerintah tidak boleh sewenang-wenang; tidak boleh bertindak sesuai keinginan penguasa; wajib mendengarkan suara rakyatnya, termasuk kritik tak bermoral sekalipun. Dengan kata lain, kritik (sebagai bentuk suara rakyat) dalam negara demokrasi (sekalipun memang mengandung unsur hinaan) adalah bentuk yang wajar.

Dalam penerapannya, kritik dapat diwujudkan dengan dua (2) cara, yaitu penilaian dan penghinaan. Kritik yang berbentuk apresiasi adalah kritik yang bertujuan membangun dengan cara memberikan penilaian terhadap kinerja pihak lain, dalam konteks ini pemerintah. Contohnya adalah melalui memberikan masukan ke akun resmi pemerintah dan berkomentar di media sosial. Terdapat juga kritik dalam bentuk penghinaan, yaitu kritik yang bertujuan membangun dengan cara memberikan hinaan atau ejekan terhadap kinerja pihak lain. Contohnya adalah melalui hinaan terselubung, kritik terbuka, dan sarkasme (seperti poster dari Tempo ini).

Apakah kritik harus beretika?

Pada dasarnya, tidak ada standar suatu kritik harus bersifat sopan, begitupun harus amoral. Namun, berdasarkan definisinya, tidak ada standar apapun yang menyatakan bahwa suatu kritik harus beretika. Selama itu menyampaikan baik-buruk, itu kritik. Jadi, suatu penilaian atau masukan, baik dalam bentuk makian maupun pujian, selama itu memang ditujukan untuk menilai baik-buruknya sesuatu, itu adalah kritik. Dengan kata lain, kritik tidak harus mengedepankan etika.

Dalam konteks akademik, suatu penilaian karya dalam bentuk kritik adalah penilaian objektif. Penulisan kritik, misalnya kritik sastra, pun tidak harus mengedepankan bahasa Indonesia yang sopan santun. Yang terpenting adalah substansi kritik tersebut berdasarkan landasan teori yang benar. Selama kritik yang disampaikan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, kritik tersebut sah-sah saja.

Begitupun dalam berdemokrasi. Penyampaian pendapat, secara esensinya, tidak harus mengedepankan perasaan seseorang. Tidak perlu memikirkan "Apakah orang tersebut nanti akan sedih atau kecewa?" Objektivitas dalam penilaian atau masukan adalah hal terpenting. Pun, tujuan kritik adalah membangun dan memperbaiki kesalahan sehingga menjadi lebih baik. Kritik juga digunakan pemerintah sebagai bahan pertimbangan suatu kebijakan. Tanpa kritik, pemerintah bergerak layaknya kelelawar yang tuli, selalu menabrak ketika terbang.

Namun, di sisi lain, memang tidak ada salahnya menyampaikan kritik dengan baik-baik. Kritik bisa saja disampaikan dengan mengedepankan kesopansantunan. Masyarakat Indonesia, secara umum, mengedepankan unsur kesopanan dalam bertutur, terlebih kepada yang lebih tua. Selain itu, kebiasaan ini senantiasa dilanggengkan dan dilaksanakan oleh masyarakat, Jadi, meskipun tidak ada landasannya, penyampaian kritik dengan santun juga tidak bisa dianggap sebagai hal yang salah; sah-sah saja.

Apakah kritik bisa sewenang-wenang?
Suatu kritik hanya dapat dikatakan sebagai kritik yang substantif jika kritik tersebut adalah refleksi dari hal yang benar-benar terjadi. Kritik merupakan refleksi dari hal-hal yang dianggap perlu diperbaiki terhadap hal yang sedang terjadi. Dengan kata lain, jika kejadian yang dikritik hanya bersifat imajinatif atau diragunakn kebenarannya, kritik tidak bisa dianggap valid. Simpelnya, "Untuk apa mengkritik hal yang tidak atau tidak akan terjadi?".

Karena mengkritik sesuatu yang nyata, kebenarannya harus dapat dibuktikan. Suatu kritik tidak hanya bisa dalam bentuk makian atau ejekan subjektif yang murni dari opini pribadi. Suatu kritik harus memiliki substansi yang jelas. Harus ada bukti atau landasan yang dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Dengan adanya bukti atau landasan yang kuat, kritik dapat diterima dengan baik oleh pihak lain, terlebih mereka yang dikritik. Dengan menggunakan rasionalitas dan bukti yang kuat, kritik, terlebih kepada pemerintah, dapat dianggap sebagai realita yang harus didengarkan.

Jika tidak ada buktinya, kritik bisa dianggap sebagai karangan fiktif. Bahkan, bisa dianggap fitnah atau ujaran kebencian. Tentunya ini berbahaya. Tanpa adanya bukti, sesuatu yang mungkin nyata bisa dianggap palsu oleh orang lain. Orang lain bisa saja tidak langsung percaya jika kritik yang hendak disampaikan tidak dianggap benar, apalagi kalau mereka tidak merasakan hal yang sama. Dampaknya, penyaluran pendapat pun menjadi tidak efektif.

Selain itu, kritik adalah bentuk argumentasi yang harus dipertanggungjawabkan. Isinya memang harus objektif dan nyata. Dalam konteks akademik, kritik harus disampaikan dengan sebenar-benarnya. Hasil analisis pun harus dipertanggungjawabkan keabsahannya. Begitupun dengan berdemokrasi, kritik harus seobjektif mungkin; jangan sampai mengkritik sesuatu yang hoax. Dengan kata lain, kritik tidak bisa dilakukan sewenang-wenang, baik dalam aspek pendidikan maupun kewarganegaraan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritik memang tidak harus dilakukan dengan sopan. Selama esensinya sesuai dan memang digunakan untuk tujuan membenarkan atau memperbaiki hal yang sedang terjadi, sah-sah saja mengkritik tanpa menggunakan bahasa yang sopan sekalipun. Selain itu, kritik tidak boleh dilakukan dengan so fun (sewenang-wenang atau hanya kesenangan pribadi belaka). Kritik harus memiliki substansi yang jelas, objektif, dan valid. Kebenarannya harus dapat dibuktikan. Dengan mengkritik secara benar, dalam konteks berdemokrasi, dinamika pemerintah dan rakyat dalam memberikan pendapat dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Ini bisa menjadi bagi pemerintah sebagai wakil rakyat sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun