Mohon tunggu...
Lilik Ummu Aulia
Lilik Ummu Aulia Mohon Tunggu... Lainnya - Creative Mommy

Learning by Writing

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Titik Kritis RUU PKS, Melegalkan Aborsi dan Prostitusi?

25 April 2021   05:08 Diperbarui: 25 April 2021   05:27 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang digagas oleh Komnas Perempuan sejak 2012, akhirnya masuk ke dalam daftar prolegnas (program legislasi nasional) prioritas tahun 2021. Masuknya RUU PKS ini ke dalam prolegnas 2021 disambut gembira oleh sejumlah kalangan terutama para aktivis pengusung kesetaraan gender.

RUU PKS ini digadang-gadang akan mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang jumlahnya semakin bertambah. Selain itu, RUU PKS ini juga disebutkan akan mampu memberi efek jera bagi pelaku kekerasan seksual.

Hanya saja, pro dan kontra masih mewarnai perjalanan RUU ini, bahkan sebelum diketok menjadi UU. Bagi pihak yang pro, mereka mendesak agar RUU PKS ini segera disahkan. Bahkan, pada peringatan hari perempuan internasional, 8 Maret 2021 kemarin, terdapat berbagai bentuk dukungan agar RUU ini segera diketok menjadi UU. Salah satu bentuk kalimat dukungan terhadap RUU PKS ini yang  cukup kontroversial misalnya, "tubuhku otoritasku".

Bagi pihak yang kontra, mereka menyebutkan beberapa titik kritis dari RUU PKS ini. Misalnya, definisi pemaksaan aborsi pada pasal 15 akan berpeluang untuk ditafsirkan bahwa pasal tersebut justru bisa disalahgunakan untuk melegalkan aborsi. Sebab, redaksi yang digunakan untuk mendefinisikan kekerasan seksual berupa pemaksaan aborsi, bisa saja diartikan sebaliknya. Maksudnya, jika perempuan melakukan aborsi dengan suka rela, maka RUU PKS ini justru berpeluang untuk melindungi mereka atas nama perlindungan terhadap hak tubuh perempuan.

Selain pasal 15, titik kritis RUU PKS ini juga terdapat pada pasal 18. Pasal yang mengatur terkait pemaksaan pelacuran ini, juga berpotensi untuk ditafsirkan bahwa RUU PKS ini, bisa jadi juga akan melegalkan aktivitas pelacuran asalkan dilakukan bukan karena paksaan, tapi penuh dengan kerelaan.

Menanggapi beberapa pendapat dari pihak yang kontra dengan RUU PKS ini, Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen (KPP) Luluk Nur Hamidah mengatakan bahwa mereka gagal paham dengan substansi naskah RUU PKS ini. Menurut Luluk, pihak yang kontra tersebut tidak memandang substansi RUU PKS yang bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual.

Hanya saja, pendapat pihak yang kontra terhadap RUU PKS ini, perlu mendapat perhatian. Sebab, ketika RUU ini sudah diketok menjadi UU, maka pasal-pasal dalam UU tersebut bersifat mengikat seluruh warga negara. Selain itu, UU bukan hanya substansinya saja yang dijadikan pertimbangan, akan tetapi teks redaksinya juga ikut menentukan ketika digunakan untuk memutuskan sebuah perkara kejadian.

Agar tidak terjadi gagal paham, maka redaksi teks dalam pasal UU harus menggunakan kata dan bahasa yang tidak mengundang makna serta penafsiran ganda. Misalnya, untuk pasal 15, maka seharusnya diperjelas bahwa aborsi adalah aktivitas yang dilarang oleh UU kecuali ada bukti medis bahwa kehamilan tersebut membahayakan bagi Ibu. Sebab, ketika seorang perempuan hamil, baik diinginkan maupun tidak, faktanya, ada hak hidup yang dimiliki oleh si calon bayi dalam kandungan perempuan tersebut. Maka, ketika ada perempuan yang dipaksa untuk melakukan aborsi, kemudian dimasukkan dalam defini kekerasan seksual, hal tersebut tidak akan menimbulkan perdebatan.

Pun, sama untuk pasal 18. Bunyi pasal ini tinggal diperjelas bahwa pelacuran adalah aktivitas yang dilarang oleh UU, apapun motifnya. Sebab, aktivitas pelacuran justru akan merendahkan martabat seorang perempuan. Jadi, kita bukan hanya berbicara kebebasan perempuan untuk mempergunakan tubuhnya untuk apa. Akan tetapi, kita juga memperhatikan aspek kehormatan dan kemuliaan seorang perempuan dan masa depan generasi yang akan dilahirkan. Sehingga, jika ada perempuan yang dipaksa untuk melakukan pelacuran, maka wajar jika hal tersebut dimasukkan dalam bentuk kekerasan seksual.

Selain dua pasal di atas, bagian lain yang menjadi titik kritis RUU PKS ini adalah bagian definisi kekerasan seksual di bab ketentuan umum. Redaksi yang diberikan dalam RUU ini pun memunculkan berbagai pertanyaan. Misalnya, bagaimana jika aktivitas seksual dilakukan tanpa kekerasan, padahal aktivitas tersebut dilakukan di luar pernikahan, apakah pelaku tidak ada dikenai pidana? Padahal, pergaulan bebas di kalangan remaja, adalah salah satu faktor yang akan menghancurkan masa depan mereka.

Dengan memperjelas redaksi pasal-pasal yang menjadi pangkal perdebatan, sebenarnya pembahasan RUU PKS ini, tidak akan berjalan alot dan harus ditunda selama bertahun-tahun sejak 2012. Jika memang, penafsiran dilegalkannya aborsi dan prostitusi melalui RUU ini adalah sebuah gagal paham, maka pihak yang mengusulkan RUU PKS ini, tidak perlu mempertahankan redaksi pasal yang berpotensi memiliki makna ganda dan bisa dimanfaatkan untuk melakukan dosa-dosa yang selanjutnya. Lebih baik, bunyi pasal tersebut diganti dengan kalimat yang memiliki makna tunggal dan menutup adanya kemungkinan penafsiran yang berbeda dengan tujuan pembuatan RUU PKS tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun