Kebijakan konversi kompor gas menjadi kompor listrik ini, tentu menjadi dilema tersendiri bagi ibu rumah tangga. Pasalnya, wacana migrasi kompor listrik ini terjadi di tengah-tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Berbagai barang kebutuhan sehari-hari harganya melambung tinggi. Bahkan, terkadang gaji suami sebulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tidak ada yang tersisa untuk tabungan.
Apalagi, jika meniatkan diri untuk bermigrasi ke kompor listrik, tentu ibu rumah tangga yang masih berlangganan daya 450VA dan 900VA harus berpindah untuk berlangganan daya 1300VA ke atas.Â
Sebab, untuk mengepulkan satu tungku kompor listrik, butuh daya sekitar 800 watt hingga 1000 watt. Tentu bisa dibayangkan, berapa tambahan pengeluaran yang harus disiapkan untuk kebijakan di bidang listrik ini.
Ditambah lagi, adanya wacana adjustment harga listrik sesuai harga pasar. Dengan kata lain, harga listrik sebentar lagi akan dinaikkan. Hal ini, tentu membuat ibu rumah tangga akan semakin berfikir apakah harus berpindah menggunakan kompor listrik ataukah tidak.
Sebaliknya, jika ibu rumah tangga mengambil keputusan untuk tetap menggunakan kompor gas, ini pun juga mengundang dilema. Pasalnya, harga LPG 3 kg akan dihapus subsidinya dan dialihkan skema distribusinya menjadi bansos.
Kebijakan dua jenis energi ini benar-benar setali tiga uang. Hal ini menunjukkan minimnya jaminan energi dari negara. Selain itu, hal ini juga mengindikasikan tunduknya negara dihadapan kepentingan swasta.
Padahal, energi listrik dan gas alam adalah sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.Â
Harusnya, sumber daya alam tersebut dikelola oleh negara untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat. Bukan dikelola oleh swasta untuk kepentingan sebesar-besar sekelompok pemodal.
Semoga, kebijakan energi di negeri ini segera berputar haluan. Tidak berlari menuju liberalisasi energi. Tapi sebaliknya, mampu mandiri di atas kaki sendiri. Dengan demikian, ibu rumah tangga ini tidak akan dilema lagi.
Wallahu a'lam bish showab