Barangkali kita tidak mesti sering-sering berburu takjil ke pusat jajanan Ramadan. Sesekali, belilah penganan tahan lama untuk persediaan berbuka dua tiga hari ke depan.
Jadi, kita tidak menyiksa penglihatan dengan setiap hari mempertemukannya dengan tebaran makanan aneka rupa yang kerap bikin gelap sang mata.
2. Pakaian Ramadan dan Lebaran mesti bau toko
Menginginkan baju koko dan peci atau setelan mukena baru untuk salat Tarawih di masjid atau musala adalah keinginan wajar saja. Namun, hal semacam itu bukan kewajiban yang harus kita tunaikan.
Sebab, syarat pakaian untuk salat bukan yang baru keluar dari toko, melainkan pakaian yang menutup aurat, bersih, dan sopan. Tidak mungkin kita tak memiliki pakaian yang memenuhi syarat demikian. Bukankah saban hari kita melaksanakan salat?
Begitu pula menyambut Lebaran. Bersilaturahmi mengenakan pakaian baru mungkin akan terasa gimana gitu. Namun, kalau setelah Lebaran kita kebingungan bayar utang, terus gimana gitu?
Jadi, sebelum beranjak ke toko busana, bagusnya luangkan waktu sejenak menengok lemari baju di sudut kamar. Tidak ada lagikah pakaian yang pantas kita pakai untuk bersilaturahmi dengan handai tolan?
Jangan-jangan, di sudut bawah masih tersimpan seonggok setelan yang sekian lama tak terjamah.
3. Rumah harus dihias agar pantas
Hari raya bakal bikin rumah lebih sibuk ketimbang hari-hari lainnya. Sanak saudara dan rekan-rekan mungkin menyempatkan diri mengunjunginya.
Kondisi ini barangkali hanya berlaku bagi warga yang berlebaran di tempat domisili mereka. Para perantau tentu saja memilih pulang ke kampung halaman mereka.
Nah, dalam rangka menyambut tamu-tamu itu, adakalanya kita ingin menampilkan kediaman yang mengesankan. Sesuatu yang bagus tentunya karena memuliakan tamu adalah adab baik yang harus dijaga.
Meskipun begitu, seyogianya kita menghias rumah sewajarnya dan sesuai kemampuan. Mengecat kembali beberapa bagian dinding yang tampak kusam adalah hal biasa.