Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Piala Asia Tinggalkan Ilmu tentang Netralitas dalam Pemilu

13 Februari 2024   12:04 Diperbarui: 13 Februari 2024   12:55 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi netralitas dalam pemilu. (Sumber gambar: Kompas/Heryunanto)

Netralitas dalam pemilu kembali dipertanyakan sejak beberapa waktu lalu. Ternyata, kita bisa memetik pelajaran tentang netralitas dari Piala Asia 2024 yang baru saja tuntas.

Indonesia tampil di turnamen Piala Asia untuk ke sekian kalinya. Dukungan masyarakat tentu saja mengalir ke pasukan Garuda dalam pelbagai bentuknya. Wujud "minimalis" dukungan bisa berupa doa yang dipanjatkan di depan layar kaca.

Penggemar bola Indonesia, jangan sungkan singgah sejenak untuk menikmati sajian tentang adanya pemerataan di Liga 1 musim 2024-2025 mendatang.

Dukungan yang dilakukan saat Timnas bertanding tentu sebuah kewajaran belaka. Begitu pun dalam pertarungan antarnegara yang tidak melibatkan Indonesia, tetapi berpengaruh terhadap peluang tim Garuda, sebentuk harapan yang menguntungkan tentu sah-sah saja.

Kita mencatat laga-laga krusial yang turut menentukan kans Indonesia melaju ke babak 16 besar mendapat perhatian serius dari para pecinta sepak bola nasional. Kita tentu masih mengingat betapa cemas hati kita menantikan hasil pertandingan Suriah menjajal India, Hongkong menghadapi Palestina, Yordania melawan Bahrain, dan Kirgistan kontra Oman.

Wujud Dukungan dengan Pelbagai Alasan

Bagi orang yang hanya peduli pada nasib Timnas Indonesia, barangkali tak harus capek-capek hingga akhir gelaran. Mereka sudah langsung bisa menikmati pertandingan-pertandingan Piala Asia dengan tenang seusai Indonesia disingkirkan Australia. Namun, sebagian orang lainnya mungkin tidak bisa bersikap santuy begitu saja.

Bisa jadi seseorang terus berteriak-teriak di depan televisi saat Korea Selatan menghadapi Arab Saudi. Fokusnya bisa saja pada sepak bola karena begitu mengidolakan liak liuk gocekan Son Heung-Min di lapangan, atau terpesona oleh kharisma Roberto Mancini di pinggir arena.

Namun, dukungan bagi sebuah tim sepak bola bisa berangkat dari mana saja. Barangkali seorang remaja demikian fanatik memuja para Kesatria Taeguk lantaran tergila-gila drama Korea. Atau mungkin juga seorang lelaki setengah baya giat membela si Singa Padang Pasir karena punya kenangan indah di tanah Mekah.

Bentuk-bentuk dukungan semacam itu bisa terjadi juga dalam pertandingan-pertandingan lainnya. Masing-masing orang bisa (merasa) punya keterikatan dengan suatu negara dengan alasan beragam.

Bahkan, tidak mustahil juga orang merasa harus membela kawasan tertentu melalui negara yang seakan-akan mewakilinya. Ada yang menginginkan Asia Timur berjaya, ada pula yang menyandarkan harapan kepada negara-negara dari wilayah Asia Barat, Asia Tengah, atau wilayah-wilayah lainnya.

Di antara sekian banyak warga Indonesia, sepertinya juga ada yang berharap Thailand mampu menumbangkan Uzbekistan. Kalaupun Indonesia gagal melaju ke perempat final, masih ada "saudara" sekawasan yang bisa menjadi pelampiasan kebanggaan yang mungkin jarang dirasakan.

Pendek kata, setiap orang memiliki motivasi sendiri-sendiri dengan memberikan dukungan bagi pihak-pihak yang dianggap bisa mewakili perasaan mereka.

Pesta Bola di Qatar dan Netralitas dalam Pemilu di Indonesia

Kita beralih sejenak ke urusan dalam negeri yang sedang seru-serunya menghiasi perbincangan rakyat Indonesia. Isu panas tentang pejabat negara dan aparat-aparatnya yang disinyalir tidak netral menjadi bumbu pedas dalam pesta demokrasi yang tengah kita rayakan.

Konon, demokrasi kita tengah diuji dengan adanya masalah netralitas dalam pemilu.

Ada sebuah pertanyaan yang bikin resah banyak orang. Mengapa begitu susah para pejabat dan para abdi negara bersikap netral dalam pemilu sesuai ketentuan yang telah digariskan?

Bagaimana jika kita coba pasang seutas benang untuk menghubungkan gelaran Piala Asia dengan pemilu di negara kita? Sepertinya ada setitik persamaan antara pesta demokrasi di Indonesia dan pesta sepak bola di Qatar sana.

Membahas urusan pemilu tak harus dengan wajah berkerut, nanti cepat tua. Yuk, rileks dulu dengan bait-bait pantun menjelang waktu pencoblosan tiba.

Dukungan yang digelorakan bagi sebuah tim sepak bola mungkin terlihat tidak memberikan dampak besar bagi dirinya. Namun, banyak orang tetap menunjukkan keberpihakan kepada suatu tim sepak bola dengan "imbalan" rasa suka belaka.

Para pendukung tim sepak bola Jepang, Qatar, Iran, atau tim negara mana saja mungkin tidak mendapatkan materi, kedudukan, apalagi jabatan atas jerih payah mereka. Bahkan, sekadar ucapan terima kasih tak mereka dapatkan.

Tanpa beroleh kenikmatan (kecuali gembira), para pendukung sepak bola tetap berapi-api menyuarakan dukungannya. Mereka rela membuang kesempatan beroleh "kenyamanan" dengan bersikap netral dan menikmati tontonan seru sembari menyesap kopi dan ongkang-ongkang kaki.

Nah, kita telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri "ulah" para supporter sepak bola di Piala Asia. Hanya berbekal kepentingan "ala kadarnya", banyak orang rela menguras tenaga dan mungkin juga biaya demi menyuarakan dukungannya. Bagaimana pula orang bisa sukarela bersikap netral ketika melihat kepentingan yang lebih besar?

Barangkali kita bisa belajar sedikit ilmu tentang sulitnya memegang netralitas dalam pemilu dari pergelaran Piala Asia yang baru berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun