Penyakit lambung mulai kambuh di bulan Maret, disamping flu juga. Seiring saya memaksakan diri terus berpikir. Hingga akhirnya saya memutuskan harus pergi berlibur.
Untuk menghindar dari tetangga yang terus menggedor tembok, kami pergi ke Sukabumi. Puji Tuhan, saat kami tiba di Sukabumi, tepat disana ada kegiatan-kegiatan rohani yang cukup padat. Sehingga kami banyak menghabiskan waktu di Rumah Tuhan.
Bertemu kawan-kawan lama, ini menjadi terapi yang ampuh. Bukan hanya kawan-kawan lama, ada juga teman-teman orang tua dan guru-guru Sekolah Minggu. Bahkan Bapak dan Ibu Gembala di gereja itu adalah teman masa remaja.
Sekembalinya dari Sukabumi, gedoran-gedoran di tembok tetap intens. Namun, hati saya mulai dapat menerima. Gedoran-gedoran itu mulai jadi hal yang biasa. Kebencian pun sudah tidak ada.
Seiring kemampuan menerima bertambah, kesehatan pun mulai membaik. Memasuki April, saya mulai menghabiskan waktu untuk survei-survei online, belajar online, dan kembali aktif menulis di Kompasiana.
Pekerjaan baru belum ada dan tabungan mulai habis. Ini jadi masalah baru di bulan April. Namun saat PSBB aktif, saya mendapatkan bantuan sembako dari tempat ibadah dan keluarga. Survei-survei online pun cepat menghasilkan poin yang dapat ditukar dengan voucher belanja.
Mulai ada jalan lain mendapatkan uang. Seorang teman SMA menawarkan memasarkan brownies. Lalu ada pekerjaan membuat SWOT.
Bulan Mei semua kebaikan tetap mengalir. Kesibukan yang tiba-tiba melonjak, membuat saya sedikit kewalahan. Namun ini membuat saya bahagia.
Ada harapan baru, ada keluarga, ada teman lama, ada teman-teman baru, ada uang, dan ada kegiatan. Semua itu adalah terapi yang ampuh. Sehingga Mei adalah bulan kemenangan bagi saya.
Memasuki Juni, bantuan-bantuan mulai hilang. Penjualan brownies pun dratis turun. Bahkan survei-survei pun mulai jarang dan ada hasil mengerjakan survei yang tidak dapat dinikmati. Keadaan inilah yang saya tulis seperti roller coaster.