Dua bulan kemudian, saya pindah kerja ke bimbel. Saat saya bekerja di bimbel, mulai ada komunikasi dengan salah satu wanita di rumah sebelah itu. Bahkan wanita yang lain pun pernah menawari saya menumpang motornya. Namun saya menolak, sebab lebih senang pergi kerja sambil berolah raga.
Suatu saat, tembok kamar tidur yang tepat bersebelahan dengan kamar mandi mereka, digedor-gedor untuk waktu yang cukup lama. Sejak itu, mulailah teror aneh.
Padahal, jika saya berangkat kerja dan bertemu salah satu wanita di rumah sebelah itu, dia sopan. Kami saling sapa dan mengobrol sekedarnya. Alias basa basi.
Namun, setibanya di rumah, tembok kamar tidur saya tetap digedor-gedor. Ini hal yang aneh dan terjadi berulang-ulang. Bahkan gedoran itu terjadi setiap hari.
Walaupun bertemu di luar rumah, bahkan mengobrol, namun wanita ini tidak mengatakan apapun. Hanya dangkal bertanya ini dan itu, sambil lalu. Padahal saya menunggu dan memberi kesempatan jika dia ingin menyampaikan sesuatu.
Namun, hingga beberapa kali pertemuan, tak kunjung disampaikan apa harapannya. Jadi saya berpikir, memang itulah kebiasaan buruk tetangga ini.
![Gambar 1.Window of Tolerance Infographic, diambil dari buku The Crisis Kit. Sumber: PositivePsychology.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/07/the-crisis-kit-32-5f042dfd097f362d2f3c65c2.png?t=o&v=555)
Bulan Februari itu menjadi bulan terburuk. Gedoran di tembok semakin intens, dari jam 4:00 hingga jam 23:00. Bahkan anaknya yang laki-laki, selalu membuat suara-suara aneh.
Saat saya dan tetangga itu bertemu di luar rumah, dia tidak tampak merasa bersalah. Kami mengobrol dangkal seperti biasa. Namun sesampainya di rumah, mulai saya dengar teriakan-teriakan aneh dari rumahnya.
"A****g, ngapain lo nyuci. Gua enggak nyuci hari ini. Kalah dong gua."
"B*****t, ngapain lo buat soal. Gua kalah dong."