Mohon tunggu...
Liky Ledoh
Liky Ledoh Mohon Tunggu... Ilmuwan - peneliti

married, civil servants and interisti. masih belajar untuk fokus...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Angkot dan Jalan Hidupnya

8 September 2016   14:09 Diperbarui: 8 September 2016   19:26 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Bogor Kota Sejuta Angkot. (Kompas.com/IST)

ANGKUTAN Kota (angkot) menjadi transportasi utama bagi banyak warga di berbagai perkotaan di Indonesia. Bagi saya yang tinggal di Kota Kupang-NTT, angkot (disebut: bemo) menjadi transportasi sepanjang saya di bangku sekolah (15 tahun silam). Seperti beberapa kota di Indonesia Timur, angkot memiliki tampilan stiker dan gambar yang beragam, interior yang cerah dan iringan lagu-lagu terbaru. Angkot bukan sekadar transportasi lagi, tapi sebagai gaya hidup para penumpang khususnya para remaja. Tampilan angkot menjadi syarat wajib seorang penumpang. Tidak heran, pada masa itu, saya bisa di-bully bila “salah” naik angkot ke sekolah.

Naik angkot itu memiliki kenikmatan yang berbeda. Saya akan mudah menemukan berbagai macam karakter orang, latar belakang dan umur yang berbeda. Sangat mudah terdengar perbincangan anak-anak sekolah yang bercanda, para pegawai yang membicarakan bosnya hingga dua sejoli yang kasmaran berbisik-bisik sambil tertawa renyah. Saat di atas angkot juga saya bisa menikmati berbagai pemandangan kota di berbagai sudut kota karena rutenya yang melewati perkampungan hingga pusat kota.

Zaman berlalu, mobil dan sepeda motor menjadi barang yang terjangkau. Parkiran sekolah, kampus, dan kantor dipenuhi barisan motor roda dua berbagai merek. Angkot, walau masih diminati hanya karena tidak ada alternatif yang lebih murah. Beberapa angkot berusaha bertahan dengan suku cadang bekas dengan tambalan di beberapa bagiannya. Angkot makin sulit bersaing dengan taksi, ojek dan rental kendaraan. Tidak heran, teman saya dari Sumba Timur-NTT mengakui, angkot telah hilang dari jalanan Kota Waingapu karena tidak sanggup bersaing.

Saat saya pertama kali ke Pulau Jawa, angkot ternyata lebih menyedihkan. Dari Surabaya hingga ke Bandung, angkot menjadi transportasi yang dipilih karena murah dan “gesit”. Apalagi saat saya menginjakkan kaki di Kota Bogor, kotanya angkot. Di beberapa ruas jalan, saya akan bertemu lebih banyak angkot daripada mobil pribadi. Bisa dibilang di sinilah surga bagi angkot.

Itulah kata yang tebersit di kepala saya saat ini. Saking banyaknya angkot, saya merasa pengusahanya nyaris tidak mendapatkan untung. Angkotlah yang dikorbankan dan membuat kondisi angkot jauh dari layak. Standarnya tentu saja angkot di Kupang yang bukan saja jarak kotanya yang hampir 2.000 km dari Ibu Kota Jakarta. Angkot dengan kondisi penyok sana-sini, spidometer mati, suspensi tidak terasa dan belum lagi “keberanian” sopirnya di tengah kemacetan. Bahkan polisi lalu lintas dan petugas Dinas Perhubungan pun nyaris tidak ada wibawanya di jalanan Bogor. Saya belum pernah melihat razia angkot maupun petugas yang menegur atau melabrak sopir angkot. Selain petugas yang melotot sopir angkot yang menurunkan penumpang di tengah jalan, itu pun ditanggapi cuek oleh sopirnya.

Di Bogor penumpang (konsumen) bukanlah raja. Sopir bisa seenaknya ngetem (menunggu penumpang penuh) hingga setengah jam tanpa peduli penumpangnya yang terburu-buru. Bahkan ngetem bukan saja di terminal. Sekali trip bisa beberapa kali ngetem. Entah itu di depan stasiun kereta, pasar, hingga tiap pertigaan. Teman saya yang terburu-buru pernah menegur tingkah sopir seperti ini dan apa jawabannya, “Ini bukan taksi, ini angkot!” (dengan nada marah). Sopir angkotlah raja jalanan Kota Bogor.

Seorang dosen saya waktu kuliah di Jerman pernah ditanya profesornya mengapa orang Indonesia tetap bertanam padi padahal bila dihitung tidak akan tercapai Break Even Point/titik impas (pengeluaran=pendapatan) atau selalu rugi. Dosen saya menyebut bertanam padi adalah the way of life atau jalan hidup para petani. Singkatnya petani tetap bertanam padi karena mereka lebih tenang dapurnya berisi beras walau tiada uang untuk membeli lauk. Mungkin angkot memiliki pola seperti itu.

Angkot sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia berpuluh tahun silam, termasuk para pemiliknya. Saya melihat para pemilik angkot lebih memilih angkotnya bisa beroperasi setiap hari tanpa melihat keselamatan penumpang, kondisi angkot, dan ketertiban sopirnya. Menyedihkan dan bahkan mengancam jasa angkot sendiri. Angkot harus berubah atau zaman akan melindas mereka tanpa ampun.

DKI Jakarta sudah menjadi pionir dalam penertiban angkot yang tidak laik jalan dan menawarkan jasa transportasi massal yang murah dan cepat. Ini bisa merambat ke kota-kota besar lainnya. Jasa transportasi online pun memberi tawaran dan fasilitas yang murah. Untuk sebuah kota besar dan bersejarah seperti Bogor, selayaknya menjadi kota yang ramah penumpang transportasi publik. Hanya ini pilihan terbaik. Siapkah angkot-angkot melaju dalam perubahan tersebut atau jangan sampai masih ngetem menunggu dilibas sang zaman.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun