Mohon tunggu...
Holikin
Holikin Mohon Tunggu... Guru - Penulis buku "Asa di Ujung Senja", Pendidikan Karakter ala Syekh Abdul Qodir Al-Jailani", dan "Narasi Cinta"

Guru dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Duh, Hanya Fiksi!

22 Oktober 2019   21:06 Diperbarui: 22 Oktober 2019   21:12 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dia yang hanya fiksi.

Membaca buku "Menganalisa Fiksi" karya Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, saya menemukan serakan makna yang berceceran seperti tak ada yang rela memungutinya, kecuali dua penulis tersebut. Di banyak halaman rumah, pun saya mendapatinya berserakan dan menyampah.

Bagaimana tidak, di sana sebenarnya terdapat banyak bahan-bahan mentah imajinasi yang dapat kita kumpulkan menjadi sajian menarik lagi lezat. Namun, nyatanya tidak. Makna-makna itu tetap menyampah, nampak mengotori, dan seperti kita wajib membuangnya.

Fiksi yang dapat dipahami sebagai area kosong yang memungkingkan setiap bocah melompat-lompat di sana, adalah kebebasan yang siapa saja dapat meneguknya. Sebuah ruang bebas yang kadang berupa angin lalu, bukan untuk kita nikmati layaknya makanan-makanan surga yang penuh kenikmatan. Fiksi tetaplah bukan untuk menjadi nyata, meski di sana terdapat ragam menu gratis untuk selalu kita cicipi.

Makanya, di banyak buku masih dapat kita simpulkan 'seragam', ketika berbicara soal fiksi. Laiknya mimpi, ia dapat dengan sesuka hati memoles alur yang terdapat dalam cerita mimpi.

Namun, ada dua perbedaan mendasar fiksi dengan mimpi yang tak dapat kita paksa. Pertama, fiksi selalu hadir memuat banyak imajinasi, sementara mimpi tidak. Kedua, fiksi juga hadir dari unsur kesengajaan yang tak ada dalam mimpi. Akan tetapi, keduanya tetap dalam kerangka yang hanya ada bukan untuk sebenarnya.

Jika semua paparan para tokoh (meski saya sendiri tidak membaca seluruhnya) kita kaji, maka kita akan mendapatkan satu titik temu yang dapat kita stubilo dengan warna yang sama. Tak ada sari pati yang mencolok perbedaannya. Fiksi ya tetaplah fiktif bukan fakta yang tak pernah muthabiqatun lil waqi' (sesuai dengan kejadian yang sebenarnya).

Lalu, di paparan paragraf terakhir ini sebenarnya inti dari tulisan ini, yaitu soal dia yang sekelebat hadir hanyalah fiksi hidup yang lahir dari imaji, bukan kisah yang benar-benar terjadi. Dia siapa? Adalah imajinasi yang tak pernah ada ujungnya. Seperti fiksi, seperti mimpi yang tak pernah mati..

(Holikin, S.Pd.I)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun