Mohon tunggu...
Lifiana Alanisya Mutaharina
Lifiana Alanisya Mutaharina Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia'24

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kuliah dalam Ketakutan: Kekerasan Struktural Berbasis Gender yang Membungkam Suara Minoritas

28 April 2025   14:00 Diperbarui: 28 April 2025   13:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Anti Kekerasan Berbasis Gender (Sumber: Google)

Dunia Kampus yang Buta terhadap Mereka Yang Terluka oleh Kekerasan Berbasis Gender

Di balik slogan seperti "kampus unggulan" dan "kampus inklusif," tersembunyi realitas kelam. Banyak mahasiswa terpaksa menempuh pendidikan dalam ketakutan akan kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence) yang perlahan menghancurkan jiwa korbannya. Kekerasan ini tidak selalu berbentuk serangan fisik, tetapi sering hadir lewat ucapan, sikap, dan perlakuan yang merendahkan secara bias. Inilah yang disebut kekerasan struktural. Kampus yang seharusnya menjadi ruang tumbuh  justru membuat korban merasa tidak diinginkan, tidak cukup baik, takut bersuara, dan meragukan eksistensinya untuk tetap hidup.

Bagi mahasiswa yang dianggap minoritas, seperti perempuan, queer, penyandang disabilitas, atau mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi dan ras tertentu, luka itu lebih dalam. Trauma mereka tidak hanya membayangi hari-hari di kampus, tetapi juga meninggalkan bekas dalam perjalanan hidup mereka.

Kekerasan yang Tidak Selalu Kasat Mata

Kekerasan struktural berbasis gender yang didalami di kampus sering kali menghantam dalam bentuk tak kasat mata, berikut adalah sebagian contoh dari kekerasan struktural yang dialami di lingkungan kampus:

  • Komentar yang merendahkan saat berbicara di dalam kelas.

  • Pemberian stigma serta menunjukkan sikap diskriminasi yang bias.

  • Penghentian program atau organisasi berbasis minoritas.

  • Lelucon seksis dan perundungan verbal terhadap mahasiswa dari kelompok yang dianggap minoritas.

  • Sindiran dan penghinaan terhadap mahasiswa, baik secara langsung di kelas maupun secara online di social media dan grup kelas.

  • Perilaku eksklusif yang mendorong mereka keluar dari ruang diskusi, organisasi, atau bahkan mimpi akademik mereka.

  • Sikap patriarki yang menghalangi suara perempuan dan kelompok minoritas.

  • Pembiaran atau sikap diam terhadap kekerasan yang dialami mahasiswa.

Bentuk kekerasan tak kasat mata ini memang tidak terekam CCTV maupun menjadi berita utama, namun luka psikologis yang mendalam di diri korban yang tidak terlihat inilah yang sejatinya paling berbahaya karena terus menghancurkan korban dalam diam.

Ketika Identitas Berlapis Memperberat Luka

Menjadi korban kekerasan struktural berbasis gender di kampus bukan sekadar soal satu bentuk diskriminasi. Luka tersebut semakin berlipat ketika mereka memanggul identitas berlapis. Seorang mahasiswi difabel mungkin tidak hanya didiskriminasi secara gender, tetapi juga dihina karena keterbatasannya. Mahasiswa queer dengan ekonomi yang kurang mampu mungkin menghadapi diskriminasi secara sosial yang diperparah hinaan terhadap kondisi ekonominya. Hal tersebutlah yang disebut sebagai isu interseksionalitas yang dikemukakan oleh Kimberl Crenshaw, yaitu persilangan identitas sosial justru memperdalam ketidakadilan. Tanpa memahami kerentanan ini, kampus akan terus gagal menciptakan ruang yang aman dan adil bagi semua.

Sistem yang Membuat Korban Diam

Fakta dari banyak korban yang memilih diam dari isu kekerasan struktural berbasis gender yang dialaminya di kampus adalah salah satu bagian paling menyedihkan dari isu ini. Mengapa banyak korban memilih untuk diam? Karena melawan sistem terasa lebih jauh melelahkan daripada bertahan dengan luka. Beberapa hal yang kerap terjadi saat korban melapor, antara lain

  • Mereka akan diragukan.

  • Pelaku mungkin tidak akan dihukum, membuat korban semakin terancam dengan kehadiran pelaku yang mengetahui bahwa ia dilaporkan.

  • Reputasi mereka sendiri akan dipertaruhkan.

  • "Derita" yang mereka rasakan dijadikan bahan sindiran, seolah-olah fakta akan rasa sakit itu hanya bagian dari drama yang sengaja korban pertontonkan.

  • Ketidakadilan dalam penilaian akademik.

  • Tanggapan yang minim dan defensif dari pihak kampus.

  • Dikecualikan dari organisasi atau komunitas.

Meskipun telah ada regulasi Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 di Indonesia, regulasi ini tidak dapat memperbaiki situasi akibat perubahan budaya kampus yang cepat. Tidak sedikit kampus yang hanya bergerak ketika kasus telah menjadi viral dan bukan akibat kesadaran bahwa dunia akademik harus menjadi tempat yang aman. Diam bukan berarti luka itu berhenti berkembang, sebaliknya luka tersebut justru menjadi trauma yang mengakar dalam jiwa.

Luka Psikologis yang Tak Pernah Benar-Benar Pulih

Korban kekerasan struktural berbasis gender di kampus kerap membawa luka psikologis yang melampaui masa kuliah mereka. Mereka kerap kehilangan percaya diri, menarik diri, serta mengubur ambisi akademik mereka karena takut dipermalukan lagi. Dalam hal ini, kampus telah kehilangan fungsinya sebagai ruang aman, tetapi justru menjadi permulaan dari luka psikologis dari diri korban.

Saatnya Kampus Berhenti Pura-Pura Tidak Tahu

Perubahan tidak cukup hanya dari regulasi tertulis, namun kampus harus benar-benar memberantas kekerasan struktural dengan:

  • Pelatihan dosen dan tenaga pendidik dalam memahami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan struktural yang mengancam psikologis korban.

  • Membuka ruang aman bagi pelapor.

  • Mengubah budaya akademik menjadi ruang yang menghargai keberagaman, tidak hanya mengakuinya.

  • Mendengar suara korban dengan serius.

Beberapa hal tersebut harus dilakukan agar siapapun yang berada di dunia kampus berhak merasa aman, didengar, dan dihargai.

Memahami Luka Psikologis: Kekerasan Struktural Berbasis Gender dan Interseksionalitas di Kampus

Kekerasan struktural berbasis gender di kampus sering menghancurkan diri korban dari dalam. Khususnya saat diskriminasi berlapis berkaitan dengan penyandang  disabilitas, ras, identitas gender, atau kelas sosial yang turut membebani mereka. Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 adalah langkah awal, namun belum cukup jika hanya digunakan terhadap kekerasan fisik. Kampus harus menjadi ruang aman yang mengakui luka psikologis dan kompleksitas identitas korban. Sudah saatnya lahir regulasi yang benar-benar berpihak untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan hak mahasiswa untuk bermimpi, bersuara, dan berkembang.

Sumber

Crenshaw, Kimberl. "Mapping the Margins: Intersectionality, Identity Politics, and Violence Against Women of Color." Stanford Law Review. Vol. 43.  No. 6 (1991). Hlm. 1241.

Galtung, Johan. "Violence, Peace, and Peace Research." Journal of Peace Research. Vol. 6. No. 3 (1969). Hlm. 168.

Komnas Perempuan. "Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023: Kegagapan Negara dalam Melindungi Korban Kekerasan" Lembar fakta disajikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2023.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Lingkungan Perguruan Tinggi. PMK Nomor 55/PMK.676/2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun