Perilaku eksklusif yang mendorong mereka keluar dari ruang diskusi, organisasi, atau bahkan mimpi akademik mereka.
Sikap patriarki yang menghalangi suara perempuan dan kelompok minoritas.
Pembiaran atau sikap diam terhadap kekerasan yang dialami mahasiswa.
Bentuk kekerasan tak kasat mata ini memang tidak terekam CCTV maupun menjadi berita utama, namun luka psikologis yang mendalam di diri korban yang tidak terlihat inilah yang sejatinya paling berbahaya karena terus menghancurkan korban dalam diam.
Ketika Identitas Berlapis Memperberat Luka
Menjadi korban kekerasan struktural berbasis gender di kampus bukan sekadar soal satu bentuk diskriminasi. Luka tersebut semakin berlipat ketika mereka memanggul identitas berlapis. Seorang mahasiswi difabel mungkin tidak hanya didiskriminasi secara gender, tetapi juga dihina karena keterbatasannya. Mahasiswa queer dengan ekonomi yang kurang mampu mungkin menghadapi diskriminasi secara sosial yang diperparah hinaan terhadap kondisi ekonominya. Hal tersebutlah yang disebut sebagai isu interseksionalitas yang dikemukakan oleh Kimberl Crenshaw, yaitu persilangan identitas sosial justru memperdalam ketidakadilan. Tanpa memahami kerentanan ini, kampus akan terus gagal menciptakan ruang yang aman dan adil bagi semua.
Sistem yang Membuat Korban Diam
Fakta dari banyak korban yang memilih diam dari isu kekerasan struktural berbasis gender yang dialaminya di kampus adalah salah satu bagian paling menyedihkan dari isu ini. Mengapa banyak korban memilih untuk diam? Karena melawan sistem terasa lebih jauh melelahkan daripada bertahan dengan luka. Beberapa hal yang kerap terjadi saat korban melapor, antara lain