3. Salah Sistem Kelola Tata Ruang
    Kesalahan pada sistem tata kelola ruang di daerah perkotaan biasanya seringkali menyebabkan sering terjadinya banjir. Dengan adanya kesalahan tersebut, biasanya air akan sulit menyerap ke dalam tanah dan menyebabkan aliran air menjadi lambat. Sementara pada musim penghujan, air yang datang ke daerah tersebut akan lebih banyak jumlahnya dari biasanya sehingga dapat cepat menyebabkan banjir.
4. Tanah yang Tidak Mampu Menyerap Air
    Ketidakmampuan tanah dalam melakukan penyerapan air biasanya disebabkan karena berkurangnya lahan hijau atau lahan terbuka lainnya yang ada di perkotaan. Hal tersebut mengakibatkan air masuk ke dalam saluran, sungai, ataupun selokan. Apabila tempat-tempat tersebut sudah meluap, dapat dipastikan bahwa air yang meluap mengakibatkan banjir.
    Peraturan tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana telah diatur, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Pada tingkat pusat diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, sedangkan di Kota Tanjungpinang sendiri Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Banjir telah diatur pada Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 3 Tahun 2016.
    Pada bencana banjir kali ini, kepala BWS Sumatera IV Ir. Tuti Sutiarsih, MT menghadiri rapat koordinasi Tanggap Darurat dan Mitigasi Bencana Banjir dan Bencana Longsor di Kota Tanjungpinang yang diprakarsai oleh pemerintah Kota Tanjungpinang. Pada kesempatan ini, kepala BWS Sumatera IV tersebut dalam pengendalian dan pennggulangan bencana banjir ini ada baiknya dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif dalam kesatuan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
    Tindak lanjut dari hasil rapat rapat koordinasi Tanggap Darurat dan Mitigasi Bencana Banjir dan Bencana Longsor di Kota Tanjungpinang yang dihadiri dan dibuka oleh Walikota Tanjungpinang Rahma, S.IP ini adalah BWS Sumatera IV akan menyusun Masterplan Drainase di Kota Tanjungpinang, juga pembangunan Polder Pengendalian Banjir Jalan Pemuda dan melakukan normalisasi sungai-sungai di Kota Tanjungpinang. (http://sda.pu.go.id/balai/bwssumatera4/rapat-koordinasi-tanggap-darurat-dan-mitigasi-bencana-banjir-dan-bencana-longsor-di-kota-tanjungpinang)
    Implementasi kebijakan, dalam pengertian yang luas dipandang sebagai suatu tindakan dari proses kebijakan segera setelah undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah, individu secara pribadi atau kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan. Apapun model kebijakan yang dipilih, suatu kebijakan harus sesuai dan menyesuaikan dirinya dengan tuntutan dan tantangan zaman, dan sekaligus menjadi alat penyejahtera dan pemenuh kebutuhan masyarakat (Putra, 2003 : 87). Berdasarkan pada peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan upaya yang dilakukan oleh Badan Wilayah Sungai IV serta pemerintah Kota Tanjungpinang seperti yang telah dijelaskan diatas, model implementasi kebijakan George C. Edward III menawarkan suatu kerangka kerja yang jelas guna memahami keterkaitan atau hubungan di antara unsur-unsur implementasi kebijakan.       Â
    Menurut Edward, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration (administrasi publik) dan public policy (kebijakan publik). Menurut Edward ada 4 (empat) faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor tersebut antara lain komunikasi, sumber daya (resources), disposisi (disposition), struktur birokrasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor memahami apa yang harus dilakukan. Setiap tujuan dan sasaran kebijakan harus disosialisasikan kepada kelompok sasaran sehinga akan mengurangi distorsi implementasi. Di sisi lain keberhasilan implementasi kebijakan harus didukung oleh sumberdaya yang berupa sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi implementor dan sumberdaya financial. Sumber daya manusia harus memiliki watak dan karakteristik, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis, dan lain-lain. Apabila implementor memiliki watak dan karakteristik yang baik, ia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Selain hal tersebut keberhasilan implementasi kebijakan harus didukung oleh struktur birokrasi yang baik. Salah satu aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar. Standar inilah yang menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
    Dari penjelasan yang sudah dijabarkan, disini terlihat pemerintah daerah khususnya Kota Tanjungpinang dan Bintan sudah mencari jalan keluar terbaik untuk menangani masalah tersebut, hanya saja masih kurang responsif dalam hal penerapannya untuk mengatasi masalah-masalah agar musibah ini kecil peluang terjadinya dikemudian hari. Seperti permasalahan sampah yang berserakan, mampu diatasi dengan membangun Bank Sampah. Serta meningkatkan penghijauan lahan seperti program penanaman pohon agar mampu menyerap air apabila terjadi curah hujan yang tinggi sehingga menimalisir banjir dan longsor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H