Mohon tunggu...
Lia Wahab
Lia Wahab Mohon Tunggu... Jurnalis - Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Ibu rumah tangga yang pernah berkecimpung di dunia media cetak dan penyiaran radio komunitas dan komunitas pelaku UMKM yang menyukai berbagai jenis kerja kreatif

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"People Power" Selebrasi atau Delegitimasi Kedaulatan Rakyat?

22 Mei 2019   23:00 Diperbarui: 22 Mei 2019   23:21 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aparat dan pengunjuk rasa di depan Bawaslu. Sumber: Akurat.co

Pemilu 2019 ini sungguh fenomenal. Sepanjang tahapan pemilu yang merupakan gabungan antara pemilihan calon presiden dan calon legislatif ini rakyat dipaksa berpikir kaki di kepala dan kepala di kaki. Fakta dan hoaks bercampur dan tersebar melalui media sosial hingga ke ruang-ruang komunitas.

Lembaga-lembaga yang secara konstitusional memiliki wewenang seperti dipatahkan taringnya. Mereka yang masih bekerja atas nama profesionalisme tetiba masuk dalam pusara isu negatif. Dan yang paling dihantam kali ini adalah lembaga KPU.

 Sejak awal 2018 isu-isu yang mencurigai adanya kecurangan petahana mulai berhembus. Mulai dari kasus-kasus tercecernya blanko EKTP, petahana yang diminta untuk cuti atau mengundurkan diri di masa kampanye hingga petahana menggunakan fasilitas negara untuk berbagai keperluan. Sekuat apapun isu ini dihembuskan, sayangnya tak satupun yang terbukti adalah perbuatan curang dalam pemilu.

Delegitimasi KPU dan pemerintah? Semua indikasi mengarah pada hal itu tentunya. Tujuannya? Saat itu kita belum membayangkan situasinya hingga apa yang terjadi hari ini. Polanya memang menyerupai sebuah alur yang terskenario dengan baik.

Sejak saat itu, satu persatu pelaku penyebar hoaks dan ucapan kebencian mulai terciduk dan menjalani proses hukum. Dan tudingan pemerintah otoriter serta membelenggu hak demokrasi rakyat pun viral di media massa. Pendukung Prabowo-Sandi kerapkali mengaitkan tindakan tegas pemerintah kali ini layaknya tindakan pemerintah orde baru terhadap aktifis yang menyuarakan aspirasi oposisi dulu. Lagi-lagi tudingan mereka tidak terbukti. Justru menjamurnya media massa online saat ini adalah bagian keran kebebasan pers yang terbuka lebar.

 Deklarasi pasangan calon untuk pilpres 2019 memulai masa dimana polarisasi rakyat terbentuk dengan tajam. Di masa dimana tim sukses menyusun peta kekuatan, di sini pula sikap hormat terhadap asas demokrasi dan supremasi hukum diuji. Kasus ujaran kebencian dan penghinaan pun bertambah. Pemerintah maupun rakyat diuji apakah keran demokrasi dibuka secara bablas atau dikekang secara beringas.

Rupanya supremasi hukum yang ditegakkan pemerintah justru jadi cikal bakal upaya delegitimasi institusi pemerintahan itu sendiri. Polri, KPU dan Kabinet acapkali tak luput jadi sasaran yang disebut institusi pemenang petahana. Semua tindakan yang dilakukan semua institusi ini mulai jadi bulan-bulanan pendukung sang mantan jendral kopassus tersebut. 

Sebelum pemungutan suara dilakukan, Prabowo Subianto dan Badan Pemenangan Nasionalnya telah beberapa kali menyinggung bahwa KPU tidak netral . Prabowo pernah berkata di hadapan para pendukungnya bahwa dirinya harus meraih suara minimal 25 persen di atas perolehan suara petahana karena ia khawatir suaranya akan dicuri jika hanya terpaut belasan persen.

Ucapan Prabowo tersebut bahkan sempat ditanggapi oleh ketua KPU, Arief Budiman, yang menegaskan bahwa ada mekanisme khusus yang membuat suara tidak bisa sembarang dicuri. Selain itu menurut Arief, ada Bawaslu yang mengawasi sekaligus menerima pengaduan pelanggaran dalam pemilu. Tapi sepertinya tanggapan ketua KPU ini juga tidak digubris oleh kubu Prabowo.

Pasca pemungutan suara ternyata tensi politik tidaklah menurun. Sebaliknya, setelah beberapa lembaga survey mengumumkan hasil hitung cepat perolehan suara Pilpres, tak sampai  12 jam pasta pemungutan suara di TPS, Prabowo bersama BPN melakukan deklarasi kemenangan dan sujud syukur.

Mereka juga dengan lantang menuding lembaga-lembaga survey tersebut sebagai lembaga bayaran yang bertugas memenangkan salah satu paslon yang merilis hasil hitung cepat yang tidak akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun