Tradisi merupakan kebiasaan tingkah laku atau tindakan secara turun-temurun yang masih dijalankan dalam masyarakat. Salah satu tradisi menarik dan memiliki keunikan adalah tradisi Endhong-endhogan yang ada di Banyuwangi. Masyarakat Banyuwangi, suku Osing menyebutnya dengan tradisi muludan Endhog-endhogan. Tradisi ini berkaitan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw. Tradisi ini bukan hanya sekedar perayaan biasa akan tetapi, mengandung makna spiritual yang mendalam sebagai manifestasi mahhabah, yaitu kerinduan mendalam untuk dekat dengan Allah, ketundukan penuh terhadap kehendak-Nya, dan komitmen untuk menjalani kehidupan yang penuh kebijakan, yang terwujud dalam tindakan kebaikan, kasih sayang, dan pengabdian kepada sesama. Tradisi Endhog-endhogan ini juga merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada Nabi Muhammad Saw. serta ungkapan rasa syukur mereka akan kelahiran beliau. Selain itu, tradisi ini memiliki nilai religious yang dapat mempekuat hubungan sosial masyarakat.
Tradisi Endhog-endhogan adalah perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. dilaksanakan setiap bulan Rabiul Awal pada tanggal 12. Nama Endhog-endhogan berasal dari istilah “endhog” yang berarti telur dalam bahasa Indonesia, namun dalam konteks ini memiliki makna simbolis. Budaya Endhog-endhogan ini hanya dimiliki oleh masyarakat suku Osing Banyuwangi saja dan merupakan salah satu budaya peninggalan para ulama Islam pertama kali di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Tradisi ini merupakan salah satu perayaan Islam yang paling meriah di Banyuwangi. Tradisi Endhog-endhogan muncul pada tahun 1777 banyak misionaris VOC yang mencoba menyebarkan agama Nasrani di Blambangan atau yang kini disebut Banyuwangi, bersamaan dengan agama Nasrani yang dibawa oleh misionaris VOC tradisi Endhog-endhogan sebagai peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. muncul sebagai media siar Islam di daerah Blambangan tersebut.
Pelaksanaan tradisi Endhog-endhogan dimulai dengan menghias telur dengan menggunakan kertas klobot, kertas minyak, dan tali raffia, kemudiaan telur-telur tersebut diikat pada batang bambu yang dihias. Pada tanggal 12 Rabiul Awal, masyaakat membawa endhog-endhog ke masjid, menancapkannya di pohon pisang yang telah dihias, dan mengatur arak-arakan atau kirab di sekitar kampong. Setelah kirab, diadakan pembacaan kitab al-Barzanji (serakalan) secara kopetitif dan pidato agama yang khusus dilakukan di setiap desa. Acara diakhiri dengan pembagian telur yang sudah dihias.
Makna Filosofi Tradisi Endhog-endhogan
- Kuning Telur, Kuning telur memiliki makna sebagai embrio dari poses kehidupan dan diibaratkan sebagai ihsan dalam kehidupan.
- Putih Telur, Putih telur melambangkan keislaman, dimana stelah ihsan maka terbentuklah keyakinan berupa Islam.
- Kulit Cangkang Telur, Lapisan paling luar berupa kulit cangkang telur yang fungsinya menjaga putih dan kuning telur. Cangkang ini diibaratkan sebagai iman dalam kehidupan.
- Batang (gedgebog) Pohon Pisang, Batang (gedgebog) Pohon Pisang diibaratkan manusia yang mana dalam dirinya terdapat seperangkat qolbu yang dapat ditancapi apa saja, baik itu amal kebaikan ataupun keburukan.
Referensi
Sutiyoso, A. & Arif M. (2024). Implementasi Mahabbah. Living Sufism: Journal of Sufism and Psychotherapy, 3(1), 44-58. https://journal.au.ac.id/index.php/1s/index
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI