Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mampukah Kita Keluar dari Stigma Bangsa Koruptor?

18 November 2019   11:05 Diperbarui: 20 November 2019   07:02 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A masked supporter of Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) holds up a poster declaring

Penolakan Kepada Orang 'Bersih'

Akhir akhir ini, media menuliskan tentang kemungkinan Erik Tohir mengangkat nama nama penting seperti Ahok dan Susy, untuk membantu pengelolaan BUMN. 

Pada saat yang sama, penolakan secara aklamasi oleh serikat pekerja Pertamina atas kemungkinan ditunjuknya Ahok memimpin BUMN tersebut mengemuka. 

Tak kalah menarik, beberapa BUMN yang diduga akan menjadi 'rumah' Ahok, antara lain Pertamina, PLN dan lembaga non BUMN seperti BPJS juga menunjukkan sinyal penolakan. 

Pro kontra tentang rencana menugaskan Ahok di BUMN muncul dari beberapa komen elit Indonesia, seperti dari Arie Gumilar, Rizal Ramli, dan Dahlan Iskan tentu meramaikan suasana. 

Politisi PDIP, Hendrawan, melalui Detik.com Hendrawan menilai ketakutan terhadap etos kerja Ahok yang tinggi dan disiplin menjadi penyebab sikap tersebut. Juga, terdapat bayangan 'perilaku' masa lalu yang dinilai menakutkan, seperti main pecat, pemberlakuan indikator kinerja yang tanpa kompromi, disiplin dan etos kerja tinggi, dan sebagainya. (Detik.com, 16 Nopember 2019).

Saya duga, orang seperti Ahok akan ditolak di lembaga manapun yang membutuhkan reformasi besar besaran. 

Alasan soal ia berasal dari ras keturunan Cina, agamanya yang bukan Islam, dan bahwa ia mantan napi yang tidak relevan akan menambah alasan yang dimunculkan.

Bukan hanya Ahok. Saya duga, karakter seperti Ibu Susy, yang telah jelas rekam jejaknya melakukan reformasi juga akan ditolak di banyak lembaga. 

Ahok dan Susy Pudjiastuti adalah karakter yang mewakili tekad, kerja keras, memotong rente, serta anti korupsi dan penyelewengan. Yang jelas, mereka adalah contoh figur yang tak ragu membuat terobosan baru. 

Namun, saya kuatir bahwa karakter karakter seperti keduanya tinggal menjadi romantisme. 

Romantisme bahwa kita pernah punya orang jujur yang tidak segan disebut "gila" untuk memperjuangkan kepentingan warga masyarakat kecil.  

Pada saat yang sama, kita yakini pula bahwa, orang orang seperti Ahok dan Susy pernah ada karena dukungan kepemimpinan yang kuat, dalam hal ini dukungan Jokowi. Tanpa dukungan politik yang kuat, orang orang yang pantang menyerah melawan korupsi tak akan pernah punya peran penting di negeri ini. 

Pemberantasan Korupsi Pra dan Pasca Pelantikan Presiden Oktober 2019 

Corruption Perception Index 2018 melaporkan adanya perbaikan persepsi tingkat korupsi di Indonesia. Ini karena pada 2018, CPI kita mengalami  perbaikan rangking.  

Bila Indonesia pada tahun 2010 berada pada ranking 110, posisi itu kemudian memburuk ke ranking 118 di tahun 2012. Posisi Indonesia membaik pada le ranking 88 pada tahun 2015 setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, dan pada tahun 2017, di tahun 2018 rangking kita membaik ke 89. 

Pada tahun 2015, Jokowi yang memilih 9 perempuan menjadi Pansel Pimpinan KPK membangun kepercayaan masyarakat. Agus Rahardjo yang terpilih jadi ketua KPK juga memimpin KPK hingga mencapai prestasinya.  

CPI 2018 (Sumber : Transparency International)
CPI 2018 (Sumber : Transparency International)
Laporan Tahunan KPK 2018 juga menunjukkan kemajuan kerja KPK, meski KPK sendiri mengakui begitu  banyak tantangan. 


"Dua ribu delapan belas bukan tahun yang membuat kami puas. Tak mudah menjadi lembaga yang bernas. Apalagi serangan balik semakin ganas. Mungkin dari koruptor, atau pihak anonim yang masih saja bebas. Maksudnya jelas: membuat gerak kami terbatas, atau terpangkas. Namun rasa takut tak pernah menjadi pilihan", Laporan Tahunan KPK 2018.

Namun, sejak di Visi Indonesia pada 14 Juli 2019, dan kemudian pada Pidato Kenegaraan Presiden RI pada 16 Agustus 2019, gaung kerja pemberantasan korupsi diperkirakan telah bergeser.

 Dalam Pidato Kenegaraan tersebut, Presiden mengatakan bahwa pemberantasan korupsi melalui penanganan kasus dinilai tidak bisa dipakai sebagai  agenda utama. 

Upaya pencegahan dan pendidikan disebut akan lebih ditingkatkan, dan menggantikan upaya penanganan kasus yang selama ini sangat kuat dilakukan oleh KPK.

Serangkaian peristiwa pada jelang dan sesudah pengangkatan Jokowi sebagai Presiden RI pada Oktober 2019 yang lalu memang membuat jantung masyarakat penggiat gerakan anti korupsi kebat kebit. Beberapa peristiwa di antaranya, adalah :

  • Hasil kerja Panel Pimpinan KPK yang ditengerai dengan perdebatan dan kontradiksi karena mengangkat pimpinan KPK yang dinilai bermasalah dan tidak independen karena dari kalangan POLRI. TTO yang disambut gembira oleh masyarakat rupanya ditakuti oleh pejabat eksekutif dan legislatif dan ini menjadi bagian dari pertanyaan capim KPK. 
  • Revisi Undang Undang KPK yang melemahkan kekuatan KPK sudah diketahui publik. Berbagai petisi dan demonstrasi mahasiswa di banyak kota besar di Indonesia terjadi. Namun, revisi Undang Undang KPK tetap dilakukan dan telah disahkan dan diketok palu.
  • Kebakaran hutan yang diduga mayoritas disebabkan oleh kebakaran yang dilakukan oleh korporasi, namun penegakan hukum tidak terlalu kuat. 
  • Rencana dihilangkannya IMB dan AMDAL.
  • Sofyan Basir, eks Dirut PLN baru baru ini telah dibebaskan dari pemeriksaan KPK. Rengekan beberapa penghuni KPK seperti Wawan suami Walikota Tangerang, dan juga eks Menteri Pemuda dan Olah Raga yang mengeluhkan perilaku KPK kepadanya. Semuanya menunjukkan betapa KPK memang sedang 'dibully'.
  • Terdapat kemungkinan pencabutan Keputusan Menteri No 46/Kepmen-KP/2019 terkait pembatalan Reklamasi Tanjung Benoa yang dibuat masa menteri Susy Pudjiastuti oleh menteri Kelautan dan Perikanan yang baru. Juga, telah banyak perdebatan tentang tarik menarik antara Susy dengan uhut Binsar Pandjaitan tentang Reklamasi Teluk Benoa. Perlawanan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi sempat dilakukan. Tidak dipilihnya kembali Susy mengindikasikan sikap politik Jokowi atas peristiwa ini (Tirto.id, 14 Oktober 2019). 
  • Terdapat berita santer bahwa penenggelaman kapal pencuri ikan yang tela dilakukan Susy Pusjiastuti akan dihilangkan (Kompas.com, 16 November 2019. 

Gelombang dan tuntutan agar Presiden melahirkan PERPPU turun naik. Petisi berbagai civitas academica dan demonstrasi mahasiswa besar besaran di beberapa kota besar di Indonesia di bulan September 2019. 

Lembaga dan aktivis anti korupsi seperti ICW, PSHK dan YLBH menyampaikan rekomendasi agar pemerintah menerbitkan Perppu. Kehadiran para tokoh nasional yang bertemu Presiden terkait revisi Undang Undang KPK (Kompas, 10 September 2019). 

Harapan masyarakat terkait pengangkatan Mahmud MD sebagai Menkopolhukam yang untuk mendorong lahirnya PERPPU tampaknya makin menciut. 

Mahmud MD yang semula merupakan pendukung lahirnya Perppu akhir akhir ini mengatakan bahwa ia sudah menjadi menteri dan sebagai menteri ia harus menjalankan visi Presiden.  

Penggembosan pada KPK, sedikit demi sedikit, tampaknya mulai berhasil. Pada survei 11-16 Mei 2019, KPK adalah lembaga yang paling dipercaya publik.  

Minggu yang lalu di bulan Nopember 2019 ini, Denny JA dari LSI menyebut kepercayaan publik kepada KPK menurun sekitar 3,3% usai Pilpres 2019. 

Atas situasi ini, Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai turunnya tingkat kepercayaan itu karena publik merasakan betul adanya upaya pelemahan KPK, seperti munculnya RUU KPK. Pada survei LSI sebelumnya, KPK mendapatkan 89% tingkat kepercayaan publik dan revisi UU KPK dianggap sangat aneh. 

Atas situasi tersebut juga, beberapa pihak melihat bahwa KPK tidak lagi melakukan OTT sejak revisi UU KPK setujui. Sementara pihak KPK mengatakan bahwa KPK pernah selama 2,5 bulan tidak melakukan OTT. 

Memang terdapat kesan bahwa OTT dikurangi. Ini mungkin merespons anjuran Jokowi yang beberapa kali disampaikan di depan publik. Bahwa perlu peringatan sebelum pengusutan kasus korupsi. 

Melihat makin kecilnya kemungkinan akan diterbitkannya Perppu, dan tampak makin lemahnya KPK, pada 15 Nopember yang lalu, Betti Alisyahbana, salah satu pansel pimpinan KPK pada periode 2014 - 2019 dan Erry Riyana Hardjapamenkas, mantan anggota KPK, akhirnya juga datang ke KPK untuk memberi dukungan kepada KPK.

Melemahnya KPK Bukan Hanya Mempengaruhi Internal KPK dan Indonesia, tetapi Juga Punya Dinamika Internasional

Sejatinya, revisi Undang Undang KPK bukan hanya dilihat sebagai kemunduran oleh lembaga dan aktivis serta gerakan anti korupsi. Bahkan para ahli di Organisation for Economic Cooperation and Development's Working Group (OECD) melihat Indonesia telah menabrak konvensi international anti korupsi. 

Bahkan OECD melihat bahwa apa yang menjadi keputusan presiden bersama dengan parlemen akan diingat sebagai tonggak pengkebirian KPK terbesar di dalam sejarah Indonesia. Ini disampaikan oleh Drago Kos, kelompok kerja OECD (mlexmarketinsight.com, 9 September 2019).

Menurut pasal 6 Konvensi PBB Anti Korupsi 'United Nations Conventions against Corruptions' yang telah dirativikasi Indonesia pada 2006, tiap negara perlu memiliki lembaga anti korupsi yang mandiri, yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Saat ini kemandirian KPK terus dipertanyakan, utamanya nanti setelah pimpinan baru mulai berkarya di Desember 2019. 

Sementara itu, pelemahan KPK bukan hanya berpengaruh pada kondisi internal KPK. Ini juga bukan hanya mempengaruhi kondisi nasional, tetapi mempengaruhi bagaimana komitmen Indonesia di dunia internasional. 

Indonesia yang pernah menjadi panutan 'role model' dalam upaya menegakkan pemberantasan korupsi saat ini telah luntur.

Banyak kalangan, termasuk dunia international sebetulnya juga mengamati beberapa keputusan Presiden Jokowi yang dianggap berbeda dari harapan. Penunjukkan Wiranto yang pernah mendapat tuduhan atas pelanggaran HAM di tahun 2016 adalah suatu kontroversi.

Walaupun POLRI belum menampakkan perbaikan dalam upaya mereformasi lembaganya, khususnya dalam pemberantasan korupsi, penunjukkan cukup banyak petinggi dan mantan petinggi POLRI dan militer pada posisi di kabinet tentu merupakan indikator tentang menguatnya kepercayaan Presiden pada lembaga POLRI.  Ini tentu membuat publik memberi komentar.  

Juga, pengangkatan Yasonna Laoli kembali sebagai Menteri Hukum dan HAM setelah adanya kontroversi terkait revisi Undang Undang KPK yang disetujui DPR dan pemerintah, walau itu ada tanpa melalui konsultasi publik. Revisi bahkan mengundang banyak penolakan dan demonstrasi, juga menjadi pertanyaan publik. 

Sementara itu, RKUHP yang diusulkan pemerintah, namun gagal disetujui karena gelombang aksi mahasiswa adalah hal lain yang juga mengkhawatirkan masyarakat, dan juga dunia internasional. 

Lima tahun yang lalu, Jokowi pernah dijuluki oleh kalangan international sebagai "Obamanya Indonesia". Namun, hak veto yang dimiliki Presiden yang tidak dipergunakan oleh Jokowi dalam kaitannya dengan revisi Undang Undang KPK, telah dinilai sebagai penurunan komitmen pada gerakan anti korupsi secara mendasar. Dan, ini membuat harapan banyak pihak melemah. 

Dukungan masyarakat yang pada awalnya tinggi pada rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan, belakangan inipun menurun. Bahkan, terdapat sebagian masyarakat Kalimantan Timur yang mulai kuatir dengan berkuasanya para pemilik modal pada tanah tanah masyarakat adat. 

Ini nampak pula dari hasil survei yang dilakukan oleh Median, yang menunjukkan bahwa 45,3% responden menolak pemindahan ibu kota. Sementara 40,7 % responden menyetujuinya pemindahan ibukota. 

58,6% responden menilai ada hal lain yang lebih mendesak untuk dikerjakan Pemerintah dibandingkan dengan pemindahan ibu kota. 15% responden mengatakan semestinya Pemerintah menyelesaikan masalah ekonomi dan pengangguran terlebih dahulu (Kompas.com, 3 September 2019).

Meski beberapa kali Jokowi mengatakan di depan publik bahwa masyarakat harus percaya kepadanya terkait upaya pemberantasan korupsi, namun ini akan menjadi jalan pembuktian panjang. 

Sepinya, atau tepatnya terpecahnya, pandangan masyarakat sipil atas apa yang terjadi pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia atas nama banyak hal, termasuk di antaranya NKRI dan radikalisme, cukup membingungkan. 

Bahkan, kita masih membaca lontaran lontaran sinisme beberapa pihak di kalangan masyarakat sipil yang mengamini begitu saja upaya penggembosan KPK. 

Sedikit sekali dari mereka yang pula melihat betapa lemahnya reformasi di jajaran penegak hukum, di POLRI dan Kejaksaan serta Kehakiman/MA,  yang seharusnya menjadi agenda yang mendesak dari Jokowi. 

Terdapat pernyataan yang menunjukkan bahwa hakim jujur adalah bukan sesuatu yang normal. Perlu panggilan personal untuk melakukannya. Mereka kesepian. 

[Many suggestions on judicial reform assume] a setting in which doing the right thing is a natural thing to do, and doing a bad thing is worthy of contempt. Yet the day-to-day realities of Indonesian judges are not so normal; they are more akin to wartime occupation, in which doing the right thing is not natural at all, but demands tremendous courage, is a very personal and lonely decision to make, which will not command natural respect or understanding in the professional circle, which can change one’s life and that of the family and children for good", ahli reformasi hukum yang anonimus, di Financial Time.com) 

Dengan semua hal yang telah terjadi, mampukah Indonesia mengembalikan kepercayaan masyarakat sebagai negara yang serius memberantas korupsi? Saya kuatir sulit. 

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun