Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Semua Harus "Di-handle" Wiranto?

4 Oktober 2019   20:47 Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Wiranto (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pd. )

Studi kondisi kesehatan ibu dan anak pasca gempa Lombok menunjukkan bahwa ibu ibu yang hamil, misalnya hanya mendapat layanan kesehatan ketika terdapat tim kesehatan yang datang. Pengungsi pada umumnya tidak hendak meninggalkan tenda pengungsian untuk mencari layanan kesehatan.

Trauma sering menyebabkan penyintas tidak berani meninggalkan tenda pengungsian. Studi dan pengalaman membantu penyintas menunjukkan terdapat juga ibu yang terpaksa melahirkan di bawah tenda. In iterjadi di Lombok, Palu, atau pada pasca Tsunami di Selat Sunda.  Trauma pasca bencana. Studi terkait trauma pasca bencana bencana Tsunami 2004 di Aceh menunjukkan bahwa trauma muncul sekitar 1 bulan setelah bencana dan bisa terjadi sampai 6 tahun setelah bencana terjadi.

Lansia dan orang dengan disabilitas. Akses kesehatan untuk kelompok masyarakat dengan disabilitas dan lansia sering terkendala. Bila dokter dan tim kesehatan tidak melakukan kunjungan, pada umumnya penyintas dari kelompok ini tidak mendapat layanan.

Juga, mereka hampir tidak pernah diajak bicara soal penyediaan rumahnya. Cerita soal lansia dan orang dengan disabilitas yang terpaksa tinggal di tenda yang tak layak sudah kalsik terdengar dan dilaporkan dari studi yang ada. Tapi berulang, layanan kepada mereka masih juga kurang.

Keutuhan keluarga terganggu. Bagaimanapun tinggal di tenda tidaklah senyaman tinggal di dalam rumah masing masing penyintas. Kasus hubungan yang tidak harmonis antara suami istri yang berada di pengungsian sering terjadi. Privasi suami istri tentu hilang di pengungsian.

Terdapat beberapa kasus dilaporkan bahwa laki laki terpaksa melakukan hubungan suami istri di semak semak dekat tenda pengungsian. Juga studi menunjukkan peningkatan kasus penyakit seksual yang menular, seperti sifilis, karena suami 'jajan'.

Memang terdapat lembaga yang menyediakan 'tenda asmara' bagi penyintas. Namun, ini aneh. Bahkan terjadi anak anak menonton dan merekam hubungan suami istri itu.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dilaporkan oleh pengungsi pasca Lombok(Lombok Utara dan Lombok Barat). Ini juga dilaporkan terjadi pada saat bencana Tsunami Aceh pada 2004. Kok ya terpikir untuk menggagahi perempuan ketika ada bencana. Kotor sekali otak itu.

Mandegnya kegiatan ekonomi keluarga. Studi dan pengamatan warga penyintas yang tinggal di tenda pengungsian pada umumnya memerlukan waktu lama untuk kembali bekerja. Bahkan cukup banyak penyintas yang tidak bisa kembali ke pekerjaannnya karena lahan pertanian dan kebun yang rusak setelah bencana. Artinya, potensi pengungsi mengalami kemiskinan menjadi tinggi.

Untuk itu, pembangunan hunian sementara atau Huntara sering dianggap sebagai solusi sementara yang efektif karena penyintas dapat segera memulai kembali kehidupan keluarga dan ekonominya. Juga Huntara mencegah adanya kasus kekerasan terhadap perempuan.

Selain itu, penyakit penyakit massal seperti sakit mata, batuk pilek, penyakit kulit dan lain lain dapat dicegah menular luas. Ini merupakan bagian dari hasil studi yang saya lakukan bersama Gema Alam NTB untuk pasca bencana Lombok di tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun