Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

50% - 70% Sekolah Rusak, Isu Darurat yang Dipinggirkan

29 Juli 2019   16:09 Diperbarui: 30 Juli 2019   08:38 1959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Rusak di Bekasi Foto : Isai Mawardi; Detik.com

Antara 50% sampai 70% Sekolah di Indonesia Rusak!

Beberapa hari ini saya dalam kepadatan (baca : kepusingan) kegiatan menulis beberapa laporan kerja yang masuk tenggat waktu. Namun mata dan tangan saya gatal atas isu darurat yang tampak dipinggirkan. Alhasil, walaupun pendek, saya coba tuliskan di antara waktu istirahat. 

Ini soal sekolah untuk anak anak yang selalu kita klaim sebagai generasi emas. 

Berita yang viral pada beberapa hari ini terkait gedung sekolah yang rusak dan bahkan hancur mengganggu hati. Jelasnya membuat geram. Ini terjadi bukan hanya di wilayah luar Jawa dan daerah terpencil, tetapi juga di pesisir pulau Jawa.  

Walau tulisan ini pendek, saya mrnahan napas panjang beberapa kali. Kok bisa sekolah rusak sebanyak itu. 

Di tahun 2019 ini saja kita telah mencatat berbagai berita soal sekolah yang rusak berat. Di bawah ini beberapa cuplikannya :

  • "Sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Bekasi masih buruk. Buktinya, bangunan sekolah yang rusak tercatat hingga akhir 2018 cukup tinggi, jumlahnya mencapai 9.686 ruang kelas. Sedangkan jumlah ruang kelas yang layak hanya 3.198 unit. Kerusakan paling banyak terjadi di SMP negeri" (Indopost.co.id, 28 Januari 2019). Ironisnya, walau Presiden Jokowi telah melakukan sidak, sekolah masih juga dalam keadaan belum tersetuh perbaikan. 
  • "Para siswa SD Negeri Mojoroto Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto, Jatim tak punya kelas untuk tempat belajar. Mereka melakukan kegiatan belajar di bekas rumah dinas kepala sekolah. Juga, siswa kelas 2, 3 dan 6 secara parallel belajar dalam satu ruang. Ini rupanya sudah terjadi selama 2 tahun" (JPNN.com, 25 Juli 2019).
  • "Sebanyak 3.143 ruang kelas SD dan SMP di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, saat ini kondisinya rusak. Bahkan salah satu SD di Brebes terpaksa belajar di teras karena kondisi kelas nyaris roboh" (Detik.com, 24 Juli 2019)


Banyak berita tentang sekolah yang rusak dan ambruk. Coba ketik #sekolahrusak atau #sekolahambruk di Kompas.com. 


Dan, ketika kita menengok data nasional dari Laporan Kilasan Kinerja 2018 Kemdikbud, kita mencatat bahwa 1,2 juta atau 69% dari 1, 17 juta ruang kelas di seluruh Indonesia alami kerusakan. Di antara bangunan sekolah SD yang berjumlah 1 juta sekolah, yang rusak adalah sekitar 74% ruang kelas SD, sekitar 10 % diantaranya rusak berat.

Selanjutnya, untuk ruang kelas SMP yang berjumlah 358.000 sekolah, 70 % rusak sementara sekitar 11% di antaranya rusak berat.

Untuk ruang kelas SMA terdapat 160 ribu, terdapat 55% yang rusak, sementara sekitar 4% adalah alami rusak berat.

Di antara sekitar 162.000 gedung SMK, dicatat 53 % rusak, dan sekitar 3% di antaranya adalah rusak berat.

Untuk SLB, di antara 22.000 sekolah, 64% di antranya rusak dan 4% di antaranya rusak berat.


Laporan itu menuliskan bahwa persoalan kerusakan bangunan sekolah sebetulnya telah menjadi bagian dari program rehabilitasi dan renovasi sekolah. Namun demikian, Kemdikbud melaporkan bahwa terdapat implementasi yang tidak sesuai sasaran. 

Dicatat bahwa untuk 2018 hanya 588 SD berhasil direhabilitasi dan 2 sekolah direnovasi, sementara terdapat 3.815 SMP direhabilitasi 100 SMA direnovasi. Ini sih bukan meleset dari target. Ini tidak ditarget. 

Saya menjadi makin paham pada situasi ketika saya bekerja sebagai relawan pada pasca bencana Lombok di tahun 2018. Bangunan sekolah di  dusun Batu Jong, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur terkatung katung sampai dengan bulan Januari 2019. Anak anak terpaksa bersekolah di bangunan darurat selama lebih dari 7 bulan. 

Deretan daftar sekolah rusak tentu meningkat dengan adanya kerusakan 26 bangunan sekolah yang terdiri dari 19 unit SD, 7 unit SMP yang tersebar di 21 desa di 5 kecamatan setelah gempa di Halmahera beberapa hari yang lain. 

Pemerintah telah menganggarkan Rp 6,5 triliun untuk memperbaiki sekolah, madrasah, dan pasar sepanjang 2019. Diharap dalam 2-3 tahun, tak ada lagi sekolah rusak. Ini tantangan. 

Bila kita sibuk terus bicara politik tanpa jeda, kapan masyarakat sejahtera? Politik perlu substansi, kan?  Isu sekolah rusak masal ini bukankah substansi politik yang harus dipikirkan dewan terhormat dan para eksekutif?. 

Pemerintah sebetulnya telah pula menyediakan anggaran pendidikan melalu Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mengalir ke sekolah sekolah penerima program BOS. Kemana itu? 

Apa sih persoalannya?
Laporan Kemendikbud mencatat bahwa masalah utama dari tertundanya penyelesaian rehabilitasi dan renovasi sekolah adalah karena kesulitan akses transportasi dan kondisi geografis. Ini artinya ada isu akses. 

Bila demikian, berarti laporan tentang status sekolah yang selama ini dibuat oleh Menteri Menteri Pak Jokowi dan juga dibuat oleh lembaga donor tidak sepenuhnya benar. Seperti dokumen laporan "Beyond Access: Making Indonesia's Education System Work" yang diterbitkan oleh Lowy Institute. Laporan itu juga menggarisbawahi bahwa persoalan pendidikan di Indonesia adalah masalah kualitas dan penyebabnya bisa dalam kaitannya dengan politik (politik anggaran, tarik tariakan pada tingkat pemerintah yang berbeda). 

Suatu artikel yang ditulis oleh Lizzie Blaisdell Collins, etALL, " Improving School Buildings in Indonesia" yang dirilis pada Januari 2019 mencatat bahwa persoalan terkait kualitas bangunan sekolah pada umumnya tidak memadai. Banyak sekolah yang ditemukan dalam kualitas 'nyaris' selesai, tetapi pembangunan tidak dilanjutkan finalisasinya. Murid belajar di ruang kelas yang 'nyaris' selesai itu dan kualitas gedung yang tidak dibangun dengan standar tahan gempa membuat rentan. 

Juga, terdapat bagian bagia dari bangunan yang hilang tetapi tidak dikembalikan posisinya ke standard yang seharusnya. Pintu dan jendela sekolah pada umumnya rusak.

Tembok pemisah ruang juga pada umumnya dalam kualitas bangunan yang buruk. Sering ditemukan pemisah ruangan yang ukurannya tidak sesuai dengan ukuran bangunan.

Bangunan bangunan ini pada umumnya dibangun oleh kontraktor lokal yang bisa saja tidak memiliki pengalaman membangun bangunan cukup besar dan tidak didampingi desainer sekolah. Pilihan pada bata dan detil bangunan dinilai rendah.

Kualitas pegangan pintu ruang kelas pada umumnya rendah dan ketika rusak tidak diganti. Ini tentu sangat rentan pada situasi gempa.

Walaupun memang laporan dibuat dalam rangka membuka kerja kemitraan di tingkat lokal, namun analisis dan data yang ada akurat.

Bila dilihat pada masifnya jumlah dan prosentase kerusakan, dapat diperkirakan bahwa kerusakan ini bukan hanya karena persoalan  tertundanya rehabilitasi dan renovasi sekolah karena alasan lokasi geografis dan transportasi. Bagaimana dengan soal pengawasan internal? Bagaimana dengan soal korupsi?  

Berbagai laporan terkait penyelewengan penggunaan Dana BOS telah kita kenal. Ini termasuk 1) isu maraknya penyelewengan ketika Kepala Sekolah diminta menyetor sejumlah uang tertentu kepada pengelola dana BOS di Diknas dengan dalih mempercepat proses pencairan dana BOS bisa dipercepat; 2) Kepala Sekolah juga diminta menyetor sejumlah dana tertentu kepada oknum pejabat Diknas dengan dalih untuk uang administrasi; 3) Para Kepala Sekolah menghimpun dana BOS untuk menyuap pegawai BPKP; 4) Pengelolaan dana BOS tidak sesuai prosedur dan petunjuk teknis.  Aduan semacam ini ada di mediq, antara lain di Teraslampung.com pada 2015. 

Sistem Pendidikan Terbesar ke 4 di Dunia ini Dalam Situasi Darurat!

Persoalan ini tidak bisa lagi dilihat sebagai persoalan pemda. 

Terdapat lebih dari 50 juta anak sekolah yang berada dalam naungan sekitar 300.000 bangunan sekolah. Ini merupakan sistem pendidikan terbesar ke 4 di dunia, bila kita hitung dari jumlah anak sekolah di dalam topografi penduduk Indonesia. 

Dengan posisi Indonesia yang berada di lingkaran cincin api, sekitar 75% sekolah berada dalam risiko terkena bencana gempa, tsunami, angin puyuh, banjir bandang dan lainnya. Artinya, murid sekolah kita ada dalam risiko yang besar bila kita semua tidak bertindak. Dengan kualitas bangunan yang sangat rendah, sekitar 250.000 sampai 400.000 bangunan sekolah ada dalam risiko.

Pak Jokowi, saya rasa Menteri Pendidikan kali ini perlu dipilih dari seseorang yang paham kegawatdaruratan. Ini sudah status darurat pendidikan. Isu zonasi itu penting. Isu gutu honorarium yang tertunda bayar juga penting. Isu bangunan sekolah ini teramat penting. Ini masuk dalam kategori darurat. 

Mohon pilih seseorang yang kreatif dan inovatif dalam menyelesaikan pembangunan yang tepat waktu dan bebas korupsi. Ini artinya pembangunan, perbaikan dan renovasi bangunan sekolah dalam waktu dua tahun. 

Dan, artinya pula, ketika kita bicara Visi Indonesia, ini juga urgen untuk dimasukkan dalam persoalan Sumber Daya Manusia. 

Pustaka : 1) Kilasan Kinerja 2018 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; 2) Gempa Halmahera; 3)  Sekolah rusak; 4) Sekolah rusak 2; 5)  Sekolah rusak 3; 6) Sekolah rusak 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun