Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Indonesia Kesulitan Hapus Kemiskinan dan Capai SDGs?

17 Juli 2019   14:14 Diperbarui: 19 Juli 2019   06:47 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama mama penjual sayur di Papua (Dokumentasi Pribadi)

Pemikiran atas SDGs memberi rekomendasi pada upaya menggeser dari utang yang abadi ke norma perpajakan, dan ke sistem perdagangan internasional. Adanya tekanan beban hutang luar negeri mendorong negara negara berpikir tentang upaya dan instrumen baru, termasuk di dalamnya, instrumen non-tradisional yang mampu mendanai pembangunan melalui gerakan sosial. Ini tentu melibatkan perubahan sistem perpajakan karena gerak e-commerce luar biasa cepat.

  • Keberlanjutan sebagai norma bisnis dan investasi. Artinya, sektor perbankan dan keuangan juga memperkenalkannya dalam mekanisme pemberian kredit. Adanya keuangan dan oblijasi hijau, juga green sukuk meski baru dimulai, perlu makin ditingkatkan. Persyaratan lingkungan dan sosial, termasuk kesetaraan gender, yang selama ini masih menjadi hambatan pebisnis untuk bisa menyusun dokumen feasibility study yang memenuhi persyaratan keberlanjutan dan sosial, atau yang bankable tentu perlu dipahami dan diterobos.

    Ini juga mempertimbangkan keberlanjutan UKM dari ekonomi dari masyarakat berkebutuhan khusus, kelompok muda, kelompok perempuan dan kelompok adat serta mereka yang ada di wilayah terpencil. Memang ini hal yang serius. Kalau ini tidak dipahami, ini signal bahwa kita masih ada di masa yang lalu.

  • Inovasi dan teknologi harus jadi menu utama. Namun, 'technology desruption' ini membawa kesempatan dan tantangan. Perusahaan tradisional menyalahkan kemajuan e-commerce dan teknologi. Ini yang perlu dipahami, tapi kita tak boleh tertinggal.

  • Pelibatan sektor swasta dan masyarakat sipil yang harus ada, karena implementasi SDGs tidak hanya urusan pemerintah saja. Karena masyarakat sipil terlibat, artinya agenda demokrasi harus ada di SDGs. Ini terbatas sekali.
  • Hal hal di atas bisa saja masih memberikan kesenjangan pemahaman di kalangan pemerintah, pelaku ekonomi, kalangan swasta, anggota legislatif, masyarakat sipil, dan apalagi masyarakat kebanyakan. Literasi ekonomi dan keuangan yang menggunakan bahasa yang ramah masyarakat, perlu dipertimbangkan. Isu ekonomi bukan hanya isu kementrian keuangan. Ini isu bersama. 

    Jangan pula lupa, terdapat sejuta isu konkret lain. Buta huruf masih ada di antara kita, khususnya di antara kelompok perempuan di wilayah perkotaan maupun di wilayah terpencil. Itu 'stunting', angka putus sekolah yang muncul kembali, angka kematian ibu melahirkan, perkawinan anak, kekerasan perempuan dan seksual. Ini semua punya biaya ekonomi tinggi. 

    Lalu, kembali maraknya TBC, obesitas dan diabetus melitus di antara masyarakat, rokok yang menggerogoti keuangan dan kesehatan keluarga.

    Indikator indikator pembangunan manusia itu masih jadi tanggung jawab kita dan berkait dengan tujuan tujuan SDGs. 

    Ingat pula isu korupsi dan nepotisme yang menggerogoti keseluruhan perekonomian kita. Adalah tidak masuk akal membicarakan Visi Indonesia, tanpa membicarakan penghapusan korupsi dan penegakan hukum dan HAM. Ini menjadi catatan ICW juga.

    PR Jokowi - Ma'ruf banyak sekali ya. Dan itu PR kita semua. Kalau kita hanya terus ribut nyinyir, jangan heran kalau hidup kita sebagai bangsa yang tidak akan berubah. 

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Financial Selengkapnya
    Lihat Financial Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun