Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kemenangan Golput, dari Kecewa Tanpa Pilihan, Gagal Nyoblos sampai Kemalasan Belaka

7 Februari 2019   21:30 Diperbarui: 8 Februari 2019   05:53 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golput Sebagai Pemenang Pemilu

Isu terkait Golput memang merupakan topik pilihan Kompasiana bulan Januari, namun saya terusik untuk tetap menuliskannya. Pasalnya, Golput telah terbukti memenangkan banyak Pemilu. Sebut saja Pemilu di Amerika pada 2016. 

Golput telah menang pada Pemilu 2004 dengan skor 23,3% dan pada Pemilu 2009 dengan 39,1% serta pada Pemilu 2014 sebesar 30%.  Pada Pilkada di beberapa daerah, Golput memang di Pilkada Jawa barat 2013 dan Pilkada Sumatera Utara tahun 2017.  Fenomena prosentasi masyarakat yang memilih Golput menunjukkan kecenderungan meningkat. 

Kemenangan Golput pada Pemilu Amerika 2016 (Associated Press)
Kemenangan Golput pada Pemilu Amerika 2016 (Associated Press)
Konteks Golput di Indonesia

Lalu, apa sih Golput dalam konteks Indonesia? Terminologi Golput atau Golongan Putih muncul pada awal tahun 1970an ketika masa Orde Baru. Saat itu Golput merupakan gerakan ideologis yang dipimpin Arif Budiman yang memprotes pada adanya UU no 15 1969 tentang Pemilu yang dinilai mengkerdilkan kebebasan berpolitik karena memberikan ruang terlalu besar pada militer. 

Dari masa ke masa, Golput dilakukan dengan cara tidak menyoblos atau menyoblos tapi dilakukan dengan kesalahan agar tidak dihitung sebagai suara yang valid. Golput sempat menjadi simbol kekuatan.

Waktu berjalan dan konteks berubah. Pada Pemilu 1999, kebebasan bersuara menguat sejalan dengan meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pemilu. Saat itu suara tentang Golput hampir tak terdengar. 

Namun demikian, akhir akhir ini bergulir kembali bola Golput dengan makin keras. Capres dan Cawapres Fiktik, Nurhadi -- Aldo (Dildo) dinilai beberapa analis mengajak golput. Capres dan cawapres fiktif ini menyumbang lebih dari 1.568 percakapan tentang Golput. Dengan jumlah percakapan tinggi di media sosial ini bisa saja diartikan sebagai kampanye Golput.

Siapa yang Golput pada Pilpres 2019?

Data Kementrian Dalam Negeri menunjukkan bahwa 196,5 juta penduduk, yaitu 98,7 juta orang laki laki dan 97,9 juta orang perempuan memiliki hak pilih (Sindonews, Desember 2017). Meski demikian, kementrian mencatat masih adanya data ganda dan belum tuntasnya perekaman kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Ini tentu merupakan suatu persoalan. Belum tuntasnya perekaman KTP elektronik mempunyai kontribusi pada hak pilih yang hilang. Di antara penduduk dengan hak pilih sebesar 196,5 juta dicatat sekitar 7 juta adalah pemilih baru.

Dari apa yang digelar pada media media di Indonesia, terdapat beberapa hal yang bisa berkontribusi pada keputusan untuk memilih Golput. Alasan alasan itu bisa strategis, namun banyak di antaranya dianggap sebagai 'keranjang sampah' alasan tidak memilih. . 

  • Kelompok Anti Politisasi Agama. Beberapa aktivis yang tergabung dalam Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBH), ICJR, dan Kontras menyebutkan melalui konprensi pers pada bulan Januari yang lalu bahwa pilihan Jokowi pada calon wakil presiden yang memiliki rekam jejak intoleran membuat mereka memilih untuk abstain alias Golput (BBC Indonesia edisi 24 Januari 2019). Sementara mereka juga tidak dapat memilih Prabowo yang memiliki rekam jejak dalam kasus pelanggaran HAM. Sebetulnya, kelompok yang tergabung dengan YLBHI, Kontras dan beberapa organisasi non pemerintah juga pernah menyatakan Golput pada Pemilu 2009. Pada saat itu mereka Golput pada pemilu legislatif karena tak percaya dengan anggota legisltatif yang tidak memikirkan kepentingan pemilihnya.
  • Kelompok apatis? Atau Supremasi Protes? Kelompok apatis dan kelompok yang tidak direpresentasikan oleh calon calon Presiden memiliki pula potensi menjadi Golput. Ketika sekelompok masyarakat memang memiliki argumentasi mengapa mereka Golput, ini adalah hak yang dilindungi Undang Undang. Beberapa kelompok, termasuk AMAN atau Aliansi Masyarakat Adat Nasional yang dinahkodai Abnon Nababan memang mendukung Jokowi pada Pemilu 2014. Namun, mereka memastikan dalam siaran pers mereka baru baru ini bahwa kali ini mereka akan Golput. Hal ini sebuhubungan dengan adanya berbagai usulan AMAN yang tidak mendapat pertimbangan Jokowi. Beberapa di antaranya adalah usulan masyarakat adat untuk menutup atau menolak pembukaan pabrik semen baru yang merugikan kelompok masyarakat adat. Pada saat yang sama kelompok ini bisa juga sedang menggunakan Golput sebagai bagian dari alat negosiasi dan supremasi protes. Mereka kecewa dan tidak punya pilihan atas calon yang tepat.
  • Kelompok yang terbatas aksesnya pada informasi dan kurang paham pentingnya menjalankan hak pilih. Banyak kelompok masyarakat yang akses pada informasinya terbatas. Mereka termasuk kelompok yang hidup di pedalaman, kelompok lanjut usia, kelompok perempuan yang tidak mengenyam pendidikan khusus dan lain sebagainya. Di masa sebelum pemilu 1999, terdapat banyak program pendidikan pemilih yang dilakukan berbagai LSM sampai ke pelosok negeri. Saya tidak terlalu melihat hal ini dilakukan pada saat ini.
  • Kelompok yang tak nyoblos karena prosedur dan administrasi. Terdapat mereka yang ingin dan hendak mencoblos tetapi terhalang persoalan administrasi, yaitu tidak terdaftar atau tidak menerima surat panggilan ke TPS. Warga bisa juga tidak memilih karena sedang sakit atau sedang di luar negeri dan tidak ada TPS yang dekat dengan lokasi. Tempo hari ini, 7 Februari 2018,  memberitakan bahwa sekitar 29.000 mahasiswa Universitas Brawijaya memiliki potensi Golput karena hanya diberi satu hari libur yang tidak memungkinkan mereka melakukan hak pilih di kota asalnya. 
  • Kelompok yang melawan demokrasi. Pada Pemilu 2014, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendeklarasikan kelompoknya sebagai Golput. Mereka memutar Golput dari bentuk protes demokrasi menjadi upaya melawan demokrasi. Yang akan menarik pada Pilpres 2019 ini adalah HTI mendukung PBB. Apakah artinya HTI mendukung Jokowi karena Yusril Isa Mahendra yang menahkodai PBB saat ini ada pada posisi di belakang Jokowi. Misteri politik yang mungkin perlu dicermati;
  • Kelompok yang tak perduli dan sekedar malas. Tidak perlu lagi dijelaskan bila alasannya malas. Intinya mereka tidak perduli bahwa pemilu perlu dilakukan untuk kepentingan mereka di masa depan.
  • Bangga karena ingin berbeda. Alasan ini tentu menjadi berisiko tinggi dalam melemahkan demokrasi ini bila menjadi bagian dari tadisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun