Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Duh Anemon, Si Rumah 'Nemo' jadi Pepes Buli Buli di Wakatobi!

27 Januari 2019   07:40 Diperbarui: 28 Januari 2019   07:44 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada kondisi suhu laut yang meningkat, anemon mengalami apa yang disebut 'bleaching', mereka menjadi pucat, dan ikan badutpun menjadi pucat warnanya dan seringkali kedapatan mati. Perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kehidupan anemon dan ikan badut.

Ketidakpahaman manusia pada kemitraan dan relasi antara anemon dan ikan badut terus terjadi. Tiadanya anemon laut menyebabkan ikan badut akan mati cepat. Bila kita masih memakan dan mengambil anemon dari habitatnya, artinya kita membunuh dua makhluk sekaligus, anemon dan ikan badut.

Pepes Buli Buli, Ikan Badut, dan Wakatobi

Kita coba kembali hubungkan soal Pepes Buli Buli, si 'Nemo' dan Wakatobi ya. 

Wakatobi yang namanya merupakan akronim dari empat pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko memang sangat kaya dengan keragaman biota dan spesies ikan laut. Terdapat 900 jenis ikan di dalam lautnya. 750 dari 850 jenis karang juga di dunia ada di sini. Oleh karenanya, Wakatobi terdaftar di the UNESCO World Network of Biosphere Reserve (WNBR) untuk kekayaan karang dan fauna laut. 

Namun, dalam penelitian lapang, saya menemukan penduduk di banyak desa di Wakatobi masih miskin. Di Wawotimu, misalnya terdapat 28% rumah tangga miskin dan 24% keluarga yang mendekati miskin. Di Lamanggau, terdapat 27% keluarga miskin dan 40% keluarga mendekati miskin. Dengan angka 67% keluarga di Lamanggau adalah miskin dan mendekati miskin, artinya di desa ini tidak ada yang bisa disebut kaya (DFS Report of Solar Photovoltaic Electricity for Tomia Island.  Wakatobi is a green model project, 2016). Adanya tingkat kemiskinan yang tinggi ini memiliki arti tentang, antara lain, adanya kebutuhan yang lebih baik dalam hal ekonomi.  

Adanya keputusan pemerintah untuk menjadikan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada 2012 sebetulnya belum didukung dengan pendekatan untuk menawarkan kematapencaharian bagi penduduk, baik perempuan dan laki laki. Tentu, secara teori, masyarakat tidak boleh memanfaatkan ikan yang tergolong liar dan jarang keberadaaannya di bawah laut. Tetapi ketika masyarakat tidak punya pilihan hidup, apa boleh buat. Masyarakat mencoba menyelesaikan sendiri solusi solusi yang mereka lakukan untuk bertahan. Di Kulati, masyarakat mengalihkan mata pencaharian untuk wisata bawah laut.  Ini solusi positif. Untuk itu, masyarakat Kulati didukung oleh lembaga Swisscontact.

Dokpri
Dokpri
Di sisi lain, terdapat masyarakat yang belum mampu untuk mencari solusi yang sesuai. Mereka masih mengambil ikan dan biota laut dengan serampangan. Mungkin mereka tak paham. Mungkin juga memang mereka tak lagi punya opsi. Misalnya, di pasar Usuku, saya masih menemukan berbagai ikan dan makhluk bawah laut dijual murah. Padahal, menurut aturan Kementrian Kehutanan terkat konservasi Wakatobi sebagai Taman Laut , flora dan fauna yang ada dibawah laut itu semestinya dilindungi. Di pasar ada Kima (Kerang besar) yang sebetulnya dilindungi. Dan kita bisa membelinya hanya dengan harga murah Rp 5000,- .Rupanya harga Rp 5.000 ini seperti mantera karena menjadi harga yang diterapkan pula pada seikat besar anemon, segandeng ikan Kakak Tua, 2 buah/ekor Bulu Babi  dan seonggok kecil rumput laut dan anggur laut. Angka Rp 5.000 itu hanyalah untuk menambal kehidupan keluarga keluarga miskin di Wakatobi. 

Ketika saya ke pasar, tampak sedang ada kegiatan reklamasi di dekatnya. Tanah baru ini nantinya akan dijadikan tempat penampungan dan  penjualan ikan. Artinya, transaksi jual beli ikan memang akan menjadi makin besar. Bila ini terjadi terus menerus dan pemerintah tidak memberikan aturan yang jelas, sementara juga tidak memberikan solusi yang memadai dalam hal kematapencaharian, bukan tidak mungkin habitat bawah laut akan terus terancam dieksplotasi dan akan berkurang atau punah. 

Berbagai biota laut ysng dilindungi dijual Rp 5.000 an. (Dokpri)
Berbagai biota laut ysng dilindungi dijual Rp 5.000 an. (Dokpri)
Dalam hal kemiskinan wilayah Wakatobi, ini adalah gambaran yang lebih jelasnya. Di wilayah Wakatobi, migrasi laki laki juga tinggi. Ketika kami berjalan ke desa desa dengan ojek, kami lebih sering melihat perempuan perempuan melakukan kegiatan ekonomi, menjaga warung, membuat Kasuami, atau sekedar duduk di depan rumah mencari kutu. Migrasi kaum laki laki ini adalah migrasi dalam bentuk kontrak kerja selama minimal 2 tahun dengan kapal dagang, untuk menjual barang barang kelontong ke wilayah Kalimantan dan Papua. Dan ini rupanya bukan hanya tren di Wakatobi. Saya juga menemukan hal ini di Bau Bau. Keduanya adalah berada di Sulawesi Tenggara. Ini adalah salah satu contoh solusi bertahan bagi penduduk karena kemiskinannya. 

Adanya jumlah orang laki laki yang bermigrasi menjadikan  rasio penduduk berdasar jenis kelamin tidak seimbang. Di antara 100 perempuan cuma ada 90 laki laki. Ini persoalan serius.  Kenjomplangan ini mengakibatkan banyak pekerjaan di lahan dan di rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Yang aneh adalah pendekatan dari pemerintah ataupun proyek ketika mereka mengundang masyarakat untuk mempersiapkan pemasangan listrik. Perempuan adalah kelompok yang paling berhubungan dengan kebutuhan listrik. Baik untuk menemani anak yang sedang belajar serta untuk menyalakan alat alat rumah tangga agar mereka bisa menghemat tenaga. Namun, jumlah perempuan yang diundang untuk pertemuan hanya dipatok 30% dari total peserta. Padahal juga, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki laki dan bahkan njomplang di wilayah ini. Ini logika yang saya tidak pahami dengan kelatahan menetapkan angka 30% 'kuota' kepesertaan pertemuan soal listrik dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun