Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2 FHUI

LEXPress merupakan progam kerja yang dibawahi oleh Biro Jurnalistik LK2 FHUI. LEXPress mengulas berita-berita terkini yang kemudian diunggah ke internet melalui media sosial resmi milik LK2 FHUI.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mudik dan Hak Asasi Manusia

28 April 2022   18:21 Diperbarui: 28 April 2022   18:38 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh karena itu, Pitra dan Presiden Jokowi menghimbau agar masyarakat dapat menghindari mudik pada tanggal tersebut (Hardiantoro, 2022).


Mudik dalam Perspektif HAM
Mudik dikategorikan ke dalam hak untuk bebas bergerak dan berpindah dalam suatu wilayah negara. Hak mudik dilandasi oleh Pasal 27 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia. 

Kemudian Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pada pasal 12 ayat (1) juga menyebutkan setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara, berhak atas kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.

Lantas, apabila mudik dibatasi apakah hal ini tergolong ke dalam pelanggaran terhadap HAM?

Berdasarkan Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966, hak untuk bebas bergerak dan berpindah tidak masuk ke dalam kategori non-derogable right, sehingga hak ini dapat dibatasi. Pembatasan atau derogation dapat dilakukan apabila terjadi suatu keadaan darurat.

Misalnya darurat kesehatan, bencana alam, dan perang. Pandemi yang tengah melanda dunia termasuk ke dalam situasi darurat kesehatan. Dalam konteks Indonesia, regulasi yang dapat dijadikan legitimasi untuk pembatasan terdapat pada UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) No. 12 Tahun 2020, bencana non alam COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional. Maka, apabila negara telah mengumumkan adanya keadaan darurat kesehatan akan sah-sah saja jika mudik dibatasi demi kemaslahatan bersama. Sebab, dengan dibatasinya mudik risiko terhadap penyebaran wabah COVID-19 dapat diminimalisir dan untuk terpenuhinya hak atas kesehatan.

Perlu digaris bawahi pembatasan berupa ditunda atau ditangguhkannya pelaksanaan terhadap HAM tertentu dapat dilakukan ketika kondisi darurat. Karenanya, hak untuk bebas bergerak dan berpindah tidak dapat dibatasi apabila keadaan suatu negara sedang dalam kondisi normal. 

Oleh karena itu, jika terjadi pelarangan mudik padahal tidak terdapat suatu situasi darurat maka pelarangan tersebut dapat digolongkan sebagai tindak pelanggaran HAM.


Kesimpulan
Dari penjabaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa pembatasan atau derogation mudik dalam kondisi pandemi COVID-19 ini merupakan hal yang sah-sah saja. Hal ini dilakukan dengan didasari oleh situasi darurat kesehatan guna menekan angka penyebaran virus corona di Indonesia.

Adapun langkah-langkah untuk turut mencegah meluasnya virus corona adalah dengan menerapkan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan hand sanitizer). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun