Mohon tunggu...
Leumara Creative
Leumara Creative Mohon Tunggu... Chef de Cuisine

Seorang Kuli Wajan yang baru Belajar untuk Menuangkan secuil kisah dan pengalaman lewat tulisan, karena di semesta ini "TRADA YANG TRA BISA". Semoga karya tulisan ini menjadi harta yang tak pernah hilang ditelan zaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sindrom Sabar: Ketika Perempuan Terbiasa Menormalkan Rasa Sakit

2 Juli 2025   20:04 Diperbarui: 2 Juli 2025   20:04 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sindrom Sabar: Ketika Perempuan Terbiasa Menormalkan Rasa Sakit (Foto by AI Canva)

Dari keluarga, muncul tekanan untuk "jangan mempermalukan orang tua". Dari masyarakat, datang stigma bagi perempuan yang bercerai. Dari agama, terkadang disampaikan secara salah bahwa perempuan wajib taat sepenuhnya, bahkan saat disakiti.

Belum lagi masalah ekonomi, ketergantungan pada pasangan, serta rasa takut kehilangan hak asuh anak. Semua itu membentuk tembok tinggi yang sulit ditembus oleh perempuan yang ingin keluar dari lingkar kekerasan.

Maka, diam menjadi pilihan yang paling mungkin.


Rasa Sakit yang Dinormalkan, Trauma yang Dibiarkan

Dampaknya? Tak terhitung. Luka fisik mungkin sembuh, tapi luka batin bisa mengendap seumur hidup. Perempuan korban kekerasan rumah tangga sangat rentan mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Tubuh mereka mungkin terlihat baik-baik saja, tetapi pikiran mereka lelah, hati mereka terkikis, dan rasa percaya diri mereka hancur. Lebih buruk lagi, anak-anak yang tumbuh di dalam rumah yang penuh kekerasan bisa mewarisi pola itu: menjadi pelaku atau korban di kemudian hari.

Sabar yang Menyelamatkan Diri, Bukan Membinasakan

Sudah saatnya kita sebagai masyarakat membongkar narasi tentang "sabar" yang seringkali menjerumuskan. Sabar tidak boleh menjadi alasan untuk membenarkan kekerasan. Sabar bukan berarti tinggal diam saat dilukai. Sabar seharusnya lahir dari kekuatan untuk memilih hidup yang lebih sehat dan aman---termasuk berani pergi saat diperlukan.

Perempuan harus tahu: meninggalkan kekerasan bukan bentuk pembangkangan. Itu adalah bentuk tertinggi dari kasih pada diri sendiri.

Dan masyarakat harus tahu: mendukung korban bukan berarti merusak institusi keluarga, melainkan memperjuangkan keluarga yang benar-benar sehat.

Suara Perempuan, Suara yang Tak Boleh Dibungkam

Mari berhenti memaksa perempuan untuk menanggung rasa sakit atas nama "sabar". Mari bantu mereka menemukan kembali suara, harga diri, dan keberanian untuk hidup dalam cinta yang sehat---bukan luka yang dibungkus kata setia.

Karena dalam dunia yang adil, sabar bukan alat untuk membungkam, tapi jembatan menuju pemulihan.

Saat rasa sakit dianggap bagian dari pengabdian, perempuan terjebak dalam diam. Ini bukan sabar yang menyembuhkan, tapi sabar yang membinasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun