Ketika ketabahan dijadikan tuntutan sosial, dan luka disimpan demi anak dan menjaga nama baik keluarga.
Luka yang Dibenamkan, Air Mata yang Disembunyikan
Di sebuah sudut kamar, seorang perempuan menangis dalam diam. Wajahnya lebam, hatinya remuk, tapi mulutnya tetap bungkam. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin aku memang salah... mungkin aku harus lebih sabar."
Inilah potret yang begitu sering terjadi, namun jarang dibicarakan: perempuan yang menyimpan luka karena terlalu sering diminta untuk mengalah. Bukan hanya mengalah kepada pasangan yang menyakitinya, tapi juga kepada tekanan sosial yang membungkamnya.
Mereka tumbuh dalam budaya yang menyebut sabar sebagai kebajikan tertinggi seorang istri. Namun tak ada yang memberitahu bahwa kadang, sabar bisa berubah menjadi senyap yang membinasakan.
Budaya Sabar: Ketangguhan yang Diromantisasi
Dalam banyak komunitas, terutama di masyarakat timur seperti Indonesia, perempuan diajarkan sejak kecil untuk menjadi penurut, lembut, dan setia. Kata-kata seperti "istri yang baik itu sabar," "jangan buka aib suami," hingga "rumah tangga itu pasti ada pasang surutnya" menjadi mantra yang diturunkan lintas generasi.
Namun, di balik semua ajaran itu, tersembunyi satu fakta getir: banyak perempuan akhirnya belajar untuk menoleransi rasa sakit. Mereka bertahan bukan karena tidak terluka, tetapi karena mereka percaya bahwa itulah peran yang harus dijalani. Rasa sakit menjadi bagian dari pengabdian, dan pengabdian dibungkus dalam kata "cinta".
Learned Helplessness: Saat Perempuan Merasa Tak Lagi Punya Pilihan
Fenomena ini dalam psikologi dikenal dengan istilah learned helplessness---ketidakberdayaan yang dipelajari. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Martin Seligman, dan menggambarkan kondisi ketika seseorang terus-menerus menghadapi situasi negatif yang tak bisa dikendalikan, hingga akhirnya berhenti berusaha melawan karena merasa sia-sia.
Dalam konteks rumah tangga, banyak perempuan yang mengalami kekerasan fisik, verbal, bahkan ekonomi, namun memilih diam. Bukan karena mereka tidak tahu itu salah, tetapi karena mereka merasa tak punya pilihan. Mereka sudah mencoba bicara, namun tidak didengar. Sudah mengadu, namun malah disalahkan.
Lama-lama, mereka berhenti mencoba. Mereka menerima rasa sakit sebagai bagian dari kehidupan.
Tekanan Psikososial: Ketika Dunia Menyuruhnya Bertahan
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Di belakangnya ada tumpukan tekanan psikososial yang membuat perempuan semakin terperangkap.