Mohon tunggu...
Leumara Creative
Leumara Creative Mohon Tunggu... Chef de Cuisine

Seorang Kuli Wajan yang baru Belajar untuk Menuangkan secuil kisah dan pengalaman lewat tulisan, karena di semesta ini "TRADA YANG TRA BISA". Semoga karya tulisan ini menjadi harta yang tak pernah hilang ditelan zaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelaki dan Semua yang Tak Ia Ceritakan Tentang Hidup

11 Juni 2025   21:45 Diperbarui: 12 Juni 2025   01:45 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki dan Semua yang Tak Ia Ceritakan Tentang Hidup (foto by Canva AI)

Namun esok pagi, ia kembali bangkit. Karena tak ada waktu untuk luka.


Diukur dari Apa yang Bisa Diberi, Bukan dari Apa yang Ia Rasakan

Masyarakat menakar lelaki dari apa yang ia hasilkan---penghasilan, rumah, kendaraan, kemapanan. Tak peduli seberapa keras ia berjuang, jika tak tampak hasilnya, maka ia dianggap gagal.

Ia menunda mimpinya demi impian orang lain. Ia membungkam keinginannya demi kebutuhan rumah tangga. Ia memotong keperluan pribadinya agar anak bisa sekolah, agar istrinya bisa bahagia. Tapi ketika penghasilannya menurun, tudingan datang lebih dulu daripada pelukan.

Tak ada yang tahu, betapa ia telah berdarah hanya untuk tetap berdiri.

Beban Batin: Karena Lelaki Tak Punya Tempat Aman untuk Menangis

Lelaki sering kali bukan tak mau bercerita---ia hanya tak tahu kepada siapa. Ketika ia bicara, ia ditertawakan. Ketika ia rapuh, ia dicibir. Maka ia belajar untuk diam. Menyimpan luka di dada. Menangis dalam hati.

Ia bisa tampak tenang, tapi di dalamnya badai tak henti. Ia bisa terlihat kuat, padahal sedang hancur perlahan. Ia bisa jadi suami yang baik, ayah yang hadir, tapi siapa yang hadir untuk dirinya?

Ia rindu didengar. Rindu dipeluk tanpa harus menjelaskan segalanya. Tapi rindu itu hanya ia titipkan pada malam.

Menjadi Rasa Aman, Meski Tak Lagi Nyaman dengan Dirinya Sendiri

Lelaki harus jadi bahu tempat bersandar. Harus tenang saat yang lain gelisah. Harus tersenyum saat semuanya menangis. Ia memberi rasa aman, meski dirinya sendiri tak tahu kepada siapa ia bisa merasa aman.

Tatkala hidup tak berpihak, ia tetap berdiri. Ketika gagal, ia menampung pedih dalam dada. Ketika cemas, ia menyelipkannya dalam lelucon. Depresi pun dibungkus dalam kalimat sederhana: "Capek, tidur dulu."

Ironisnya, dunia justru bangga pada ketegarannya. Padahal ketegaran itu bisa jadi hanya bentuk lain dari kesepian.

Refleksi: Lelaki Tak Selalu Butuh Solusi, Kadang Hanya Butuh Dimengerti

Lelaki tak selalu ingin disuruh bangkit. Kadang ia hanya ingin diizinkan duduk. Ia ingin dicintai meski tak sedang berjaya. Ia ingin dipahami tanpa harus menjelaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun