Jika tidak, mengapa tidak berkoordinasi dengan pemerintah daerah atau DPRD untuk mencarikan jalan tengah?
DPRD Lembata: Delapan Dipilih, Tapi Hanya Satu yang Bersikap
Kedang tidak kehilangan perwakilan di Peten Ina. Ada delapan wakil rakyat yang terpilih dari wilayah ini. Tapi dalam persoalan listrik yang meresahkan ini, suara mereka seperti terperangkap di balik meja.
Hanya satu nama yang muncul aktif merespons: Khaidir Robi. Ia hadir, mendengar, menyampaikan keluhan warga, bahkan mendorong percepatan penanganan masalah ke level kebijakan.
Sementara yang lain? Seolah tak tahu-menahu. Tak ada pernyataan, tak ada inisiatif, tak ada kehadiran.
Padahal, ini bukan sekadar isu teknis. Ini adalah panggilan bagi mereka untuk membela hak rakyat atas pelayanan dasar.
Ironis. Rakyat memilih delapan, tapi hanya satu yang bekerja. Sisanya? Menikmati status sebagai "wakil" tapi lupa fungsi utamanya: menjadi suara bagi yang tak terdengar.
Rakyat Tidak Bodoh. Mereka Hanya Sering Diabaikan
Dulu, sebelum pemilu, mereka hadir. Turun ke kampung-kampung, memeluk warga, menjanjikan perubahan. Tapi begitu terpilih, banyak yang menjauh. Tak lagi turun, tak lagi mendengar, apalagi memperjuangkan.
Hari ini, rakyat Kedang melihat jelas: siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya mengincar kursi.
Rakyat tidak bodoh. Mereka mencatat. Mereka tahu siapa yang datang saat kampanye dan siapa yang datang saat krisis. Dan yang paling penting: mereka mulai sadar bahwa hak mereka untuk menagih janji, sama sahnya dengan hak memilih.
Listrik Padam, Kepercayaan Redup
Listrik memang menyala-mati. Tapi jangan sampai kepercayaan juga ikut padam. PLN sebagai penyedia layanan publik harus hadir dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan profesional. Koordinasi, komunikasi, dan sosialisasi adalah bagian dari pelayanan publik. Bukan sekadar menyalurkan arus, tapi juga menjaga hubungan sosial.
Begitu juga dengan wakil rakyat. Mereka bukan pemilik suara, mereka hanya dititipi. Dan titipan itu bisa dicabut kapan saja oleh rakyat yang kecewa.