Dipilih untuk mendengar, tapi lebih sering membisu. Di mana suara mereka saat kita paling membutuhkan?
Di balik megahnya gedung DPRD dan sejuknya ruang rapat ber-AC di Lewoleba, ada desa-desa di Kecamatan Omesuri dan Buyasuri---yang dikenal sebagai wilayah Kedang---yang saban hari hidup dalam gelap. Bukan karena matahari tak terbit, tapi karena listrik yang terus padam tanpa peringatan. Tanpa kejelasan.
Sementara itu, rakyat menatap langit gelap dari rumah-rumah mereka yang sunyi. Satu-satunya yang mereka miliki hanya harapan: bahwa para wakil yang mereka pilih---delapan orang dari Kedang---akan bersuara dan membela nasib mereka.
Tapi yang terdengar justru sunyi.
Kedang dalam Kegelapan: Ketika Alasan Tak Cukup
Pemadaman listrik di Kedang bukan masalah baru. Ini masalah lama yang dibiarkan terus berulang. PLN beralasan, jalur listrik terganggu oleh ranting pohon: kemiri, kelapa, pisang, dan berbagai pohon lain yang tumbuh di sekitar tiang-tiang dan kabel saluran listrik.
Masalah teknis? Bisa jadi. Tapi masalahnya bukan sekadar itu.
Pemadaman dilakukan sepihak. Tanpa pemberitahuan. Tanpa koordinasi. Tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Ini bukan sekadar gangguan teknis, ini bentuk buruknya manajemen komunikasi publik dari lembaga negara yang seharusnya melayani, bukan menyulitkan.
Masyarakat tidak anti-tebang. Mereka paham, demi lancarnya listrik, pohon-pohon yang menghalangi jalur memang harus disingkirkan. Tapi persoalan muncul ketika PLN enggan membicarakan solusi ganti rugi. Pohon kemiri dan kelapa bukan sekadar tanaman---itu aset. Itu sumber pendapatan utama keluarga.
Yang jadi pertanyaan mendasar:
Apakah PLN sebagai BUMN tidak memiliki skema atau anggaran untuk kompensasi pohon rakyat yang harus ditebang demi kepentingan publik?