Generasi Alpha, lahir di era digital sejak tahun 2010, tumbuh berdampingan dengan media sosial. Kehidupan mereka, bahkan sejak dini, tak jarang terekspos melalui kebiasaan sharenting yang dilakukan orang tua.Â
Sharenting, atau berbagi konten anak di dunia maya, kini telah menjadi fenomena umum. Â Namun, di balik foto-foto lucu dan video menggemaskan, Â tersimpan potensi bahaya yang perlu diwaspadai.
Ironi "Lucu" yang Berujung Luka
Konten anak-anak, terutama yang "lucu" atau menggemaskan, kerap menjadi komoditas di media sosial. Orang tua terkadang tergoda untuk mengeksploitasi momen-momen tersebut demi popularitas atau keuntungan finansial.Â
Riset dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada pada tahun 2021 Â mengungkapkan bahwa 63.7% responden orang tua di Indonesia pernah mengunggah foto anak mereka di media sosial tanpa mempertimbangkan risiko dan dampaknya. Â
Ironisnya,  "kelucuan"  yang  dikomersialisasikan  ini  justru  dapat  berujung  luka  bagi  sang  anak:
1. Terpenjara dalam Citra Digital:
Bayangkan, si kecil tumbuh dengan identitas yang dibentuk oleh ekspektasi publik di dunia maya.  Mereka mungkin kesulitan menemukan jati diri  sejati karena terjebak dalam  citra  yang  diciptakan  oleh  likes dan shares.
2. Beban Emosional di Balik Layar:
 Tekanan untuk  selalu  tampil  sempurna  di  media sosial  dapat  menimbulkan  kecemasan  dan  depresi  pada  anak.  Senyum  ceria  di  depan  kamera  bisa  saja  menutupi  luka  batin  yang  mereka  pendam.