Mohon tunggu...
Lestari Silalahi
Lestari Silalahi Mohon Tunggu... GMNI FISIP USU

Seorang pejuang kata dan pemimpi yang (masih) percaya kalau tulisan bisa jadi peluru perubahan. Mahasiswa Kesejahteraan Sosial by status, tapi pemikir bebas by soul. Kadang nulis pakai hati, kadang pakai emosi—depends on the vibe. I write what I feel, I feel what I write.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Pendidikan Dijauhkan dari Rakyat dan Didekatkan ke Pasar

12 Mei 2025   20:50 Diperbarui: 12 Mei 2025   20:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei, mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara sebagai pelopor pendidikan nasional. Namun, tahun demi tahun peringatan ini semakin kehilangan makna sejatinya. Ia menjelma seremoni kosong yang tak menyentuh akar persoalan pendidikan kita yang tengah carut-marut, tercerabut dari semangat kerakyatan, dan semakin dikendalikan oleh kepentingan pasar serta politik pencitraan.

Ironi besar terjadi ketika negara menggaungkan Merdeka Belajar, namun yang kita rasakan justru keterpaksaan belajar dalam sistem yang tidak memerdekakan. Pendidikan hari ini semakin mahal, terasing dari kebutuhan rakyat, dan mengalami penyesatan arah akibat komersialisasi serta liberalisasi kebijakan. Bukannya menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan, negara justru menyerahkannya pada logika industri dan pasar kerja.

Salah satu produk yang paling disorot adalah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), terutama skema magang. Program yang semestinya membuka ruang belajar di luar kampus, justru dalam praktiknya menjebak mahasiswa sebagai tenaga kerja murah berkedok "pembelajaran kontekstual". Banyak mahasiswa yang menjalani magang bukan karena relevansi akademik atau pilihan bebas, melainkan karena paksaan kurikulum. Mereka tidak dibekali kemampuan teknis yang sesuai, tidak mendapat pendampingan memadai, dan dalam banyak kasus hanya dimanfaatkan sebagai pekerja administrasi atau operator tanpa upah.

Apakah ini yang dimaksud dengan "merdeka"? Merdeka bagi siapa? Jelas bukan bagi mahasiswa. Yang merdeka justru korporasi dan instansi yang mendapatkan tenaga kerja tanpa biaya. Ini adalah praktik eksploitasi terselubung yang dilegalkan oleh kebijakan negara.

Pendidikan di Indonesia tidak pernah benar-benar menjadi prioritas. Meskipun anggaran pendidikan disebut-sebut mencapai 20% dari APBN, namun realisasi dan distribusinya sangat tidak merata. Infrastruktur pendidikan di banyak daerah tertinggal rusak parah, kualitas guru masih timpang, dan akses terhadap pendidikan tinggi menjadi kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi. Sementara itu, pengambil kebijakan lebih sibuk berburu proyek dan pencitraan melalui jargon-jargon modern yang nihil isi.

Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tapi apa yang terjadi hari ini? Pendidikan telah menjadi alat penyaring kelas. Anak-anak dari keluarga miskin semakin sulit menjangkau pendidikan berkualitas, sementara anak-anak dari elite terus melaju dengan segala fasilitas dan privilese.

Lebih menyakitkan lagi, ruang-ruang demokrasi di kampus dibungkam. Mahasiswa yang bersuara kritis terhadap kebijakan pendidikan sering kali dianggap sebagai pengganggu, bahkan dikriminalisasi. Kampus tidak lagi menjadi ruang intelektual yang membebaskan, tapi berubah menjadi pabrik pencetak tenaga kerja setia, bukan warga negara yang berpikir kritis.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momen evaluasi mendalam, bukan sekadar perayaan formal. Kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita sedang dalam krisis, baik dari sisi orientasi, kebijakan, hingga implementasi. Kita harus menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan yang menjauhkan kampus dari rakyat. Pendidikan harus dikembalikan ke tangannya yang sah: rakyat. Sudah saatnya kita bersuara lantang: bahwa pendidikan bukan komoditas, bukan proyek industrialisasi manusia. Pendidikan adalah hak dasar, jalan menuju kesadaran kritis, dan alat untuk menciptakan keadilan sosial. Maka jika negara gagal menjadikannya sebagai prioritas, maka tugas generasi muda adalah merebut kembali arah pendidikan agar berpihak pada rakyat, bukan pasar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun