Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Abdul Azis, adalah seorang penikmat seni, dari seni sastra, teater, hingga tarian daerah terkhusus kuda lumping. Berasal dari kota Kediri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Episode 1: Tuto Coronawati

29 September 2020   08:16 Diperbarui: 29 September 2020   08:24 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Terima kasih ibu. Terima kasih Ibu. Terima kasih Ibu."
Berulang kali ucapan terima kasih memenuhi layar HPku. Dalam liang hati, terpangku sebuah pertanyaan :

Bisa atau tidak langsung di kerjakan tanpa harus banyak berbicara soal suruhan itu?. Ataukah hanya sekedar memastikan bahwa mereka adalah salah satu dari sekian orang yang baru mengenal hal sedemikian?. Ah, belakangan ini orang-orang mulai terlihat begitu aneh.

35 menit ku pastikan tugas itu dapat selesai, agar aku punya waktu untuk membantu ibu. Banyak jalan ku temui di sana. Salah satunya adalah kebingungan.

Bingung sebab sudah beberapa kali tugas yang di berikan ku kerjakan dengan menyalinnya dari google. Apakah ini salah satu fungsi mencerdaskan anak bangsa?. Ataukah fungsi lain dari mental instan?. Tapi sudalah, ini adalah salah satu kewajiban di tengah wabah yang menimpah bumi sekarang.

Dalam keadaan apapun, kita harus mampu memilih dan memilah. Mencerna dengan bijak tanpa menggap ini sebuah tekanan yang begitu kuat. Alangkah baiknya jika rutinitas kegiatan belajar mengajar tetap berjalan sesuai apa yang telah di tentukan dari lembaga yang berwenang.

" Kopong!. Jika kuliahnya sudah selesai. Jangan lupa untuk menyiapkan diri menjadi narasumber kegiatan karangtaruna besok."

Suara ibu membuatku teringat dengan agenda dan isi surat yang diberikan oleh ketua panitia penyelenggara kegiatan itu. Surat yang dibungkus dengan keberanian dan awal yang baik.

Sudah 3 ( tiga ) tahun karangtaruna terlepas dari pandangan pemerintah daerah. Akhirnya dengan musyawarah dan pandangan perubahan, banyak anak muda sepakat untuk kembali menghidupkan jantung desa itu.

16 Agustus 2020.
Matahari perlahan mencubit bukit. Lembah-lembah melambai pada embung-embun. Kicauan burung patah di bibir pohon. Langkah awan membuka langit agar birunya perlahan menyentuh bumi.

Di tiang atap, asap-asap mulai berkeliaran dengan aromanya yang berbeda-beda. Ada yang jeda, ada yang tiba, dan ada yang pergi lalu memili mati tanpa muka.

" Kopong. Bangun sudah!. "
" Iya Ma."
" Iyanya jangan di tempat!."
" Sedikit lagi Ma."
" Sedikit lagi atau sedetik lagi."
" Sejam Ma."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun