Mohon tunggu...
Leo Kamilus Julianto Rijadi
Leo Kamilus Julianto Rijadi Mohon Tunggu... Lainnya - Bekerja sebagai analis kebijakan di LAPAN

SDK St. Yusuf, Denpasar, 1978-1984 SMPN 2 Denpasar, 1984-1987 SMAN 3 Denpasar, 1987-1990 Computer Science, Purdue University, 1991-1995 Ilmu Komputer, Universitas Indonesia, 2005-2008 (M.Kom)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bandar Antariksa di Indonesia: Kebutuhan Nasional dan Internasional

18 Mei 2021   17:34 Diperbarui: 18 Mei 2021   17:54 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Indonesia akan segera membangun bandar antariksa. Hal ini sebenarnya telah menjadi cita-cita para pelaku keantariksaan di Indonesia sejak medio 1980-an, sesuai dengan amanat DEPANRI*), sebagai salah satu infrastruktur penting untuk menunjang kemandirian kegiatan keantariksaan Indonesia. Infrastruktur lainnya adalah kemampuan manufaktur roket peluncur dan satelit. Kebutuhan Indonesia akan satelit telekomuikasi telah dimulai tahun 1976, dan akan satelit penginderaan jauh telah dimulai akhir tahun 80an. 

Dalam wawasan DEPANRI, dengan satelit buatan anak bangsa, yang diluncurkan dengan roket buatan anak bangsa, dari bandar antariksa di bumi Indonesia, niscaya bangsa kita akan mandiri dalam mencukupi kebutuhan infrastruktur telekomunikasi dan data-data antariksa secara berkelanjutan untuk keperluan aplikasi pertanian, kelautan, kehutanan, kebencanaan, meteorologi, dan sebagainya.

Diskusi bandar antariksa mulai mengambil bentuknya yang lebih serius sejak tahun 2005. Para ahli di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mulai memilih-milih beberapa daerah calon lokasi bandar antariksa tersebut. Selain Pulau Biak di Papua, muncul kandidat pulau Morotai di Maluku Utara. Kedua daerah itu berhadapan dengan lautan luas ke arah Timur dan Utara, yang menjadi kriteria penting bagi bandar antariksa. 

Waktu itu, fasilitas peluncuran roket eksperimen milik LAPAN di Pameungpeuk, Garut Selatan dirasa mulai kurang memadai bagi roket dua tingkat (berukuran lebih besar daripada roket sederhana satu tingkat yang biasa diluncurkan LAPAN) karena mulai ramainya pemukiman penduduk di sekitar fasilitas peluncuran. 

Sekitar saat itu pula badan antariksa Rusia, ROSCOSMOS, menyatakan berminat bekerja sama meluncurkan roket dengan teknologi air launch**). Akan tetapi rencana kerja sama air launch tidak terwujud karena produk hukum nasional mengenai kegiatan keantariksaan belum mencukupi.

Setelah UU No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan terbit, rencana pembangunan bandar antariksa mulai dikerjakan dengan sistematis dalam bentuk Perpres No. 45 tahun 2017 tentang Rencana Induk yang dijabarkan dalam rencana strategis yang dibuat setiap perioda 5 tahun. 

Publik mulai diikutsertakan dalam pembahasan rencana ini, khususnya para pemangku kepentingan yaitu pemerintah daerah dan masyarakat setempat. 

Beberapa studi kelayakan digulirkan untuk segera menentukan mana di antara kedua daerah tadi yang paling cocok untuk bandar antariksa, hingga akhirnya pada 2019 ditetapkan bahwa Pulau Biak yang paling cocok karena telah memiliki infrastruktur pendukung berupa bandar udara Frans Kaisiepo, pelabuhan laut, dan jaringan jalan dan listrik yang cukup baik. 

Terlebih lagi, LAPAN telah memiliki stasiun pengamat dan penjejak antariksa di Biak dan lahan seluas 1 km2. Di saat yang bersamaan, kebutuhan untuk memindahkan operasional peluncuran roket eksperimen di Pameungpeuk semakin mendesak.

Dalam Space Symposium 2019 di Amerika Serikat, Indonesia menawarkan peluang kerja sama pembangunan bandar antariksa ini ke hadapan mitra-mitra internasional. Hal ini dilakukan karena bandar antariksa sudah menjadi trend bisnis internasional, dan Indonesia, dengan UU Keantariksaan nya, lebih siap untuk memfasilitasinya. 

Rusia meluncurkan roketnya dari bandar antariksa Prancis di Guyana; Amerika Serikat meluncurkan roketnya dari bandar antariksa di Selandia baru, dan terdapat beberapa proposal bandar antariksa yang akan dibangun secara multinasional. Pada tahun tersebut dikonsepkan dokumen kerja sama 4 pihak, yakni antara LAPAN, Pemerintah Kabupaten Biak, Pemerintah Provinsi Papua, dan Universitas Cendrawasih, untuk merencanakan implementasi pertamanya berupa studi kelayakan. Namun perencanaan tersebut harus tertunda karena pada tahun 2020 terjadi pandemik COVID yang melumpuhkan sebagian kegiatan-kegiatan pemerintah. 

Pada bulan-bulan awal 2021, ramai berita di media massa bahwa masyarakat adat di Biak menolak pembangunan bandar antariksa karena ini akan merusak lingkungan alam tempat mereka menggantungkan kehidupan selama ini. Alasan lain, rencana ini terlalu dipaksakan secara sepihak dan belum pernah disosialisasikan.

Pada bulan April 2021, Pemerintah Kabupaten Biak membuat seminar yang di antaranya mengundang LAPAN untuk kembali memaparkan rencana kerja pembagunan bendar antariksa di Biak, sekaligus meluruskan isu-isu yang berkembang. Pembangunan bandar antariksa di Biak akan dimulai pada 2022 dengan studi kelayakan dan direncanakan selesai pada 2024. 

Bandar antariksa ini tidak sebesar yang dibayangkan masyarakat. Luas yang diperlukan untuk fasilitas teknis 1 km2 dengan daerah penyangga dengan radius 2 km***). Daerah penyangga tersebut memang tidak boleh dimasuki masyarakat saat ada peluncuran roket demi keselamatan mereka, dan akan dibiarkan alamiah seperti apa adanya sekarang. Pembangunan fasilitas ini direncanakan akan ditanggung sepenuhnya oleh APBN.

Sementara itu, bandar antariksa internasional belum ditentukan kapan dan di mana akan dibangun karena belum menentukan tempat yang pasti dan masih akan ditentukan bersama dengan calon investor dan pemilik teknologi.

Akhir kata, usaha LAPAN untuk membangun dan mengoperasikan bandar antariksa dimulai dengan perencanaan dan sosialisasi dengan semua pemangku kepentingan. Hal ini sangat penting mengingat program pembangunan ini membutuhkan dukungan masyarakat. Studi kelayakan yang mendalam akan dilakukan untuk menjamin program ini aman bagi siapa pun.

*) DEPANRI = Dewan Penerbangan dan Antariksa RI, resmi dibubarkan pada 4 Desember 2014.

**) Peluncuran roket dengan teknologi air launch tidak membutuhkan bandar antariksa khusus, tetapi dapat memakai sarana bandar udara yang sudah ada. Dengan teknologi ini, roket dimasukkan di badan pesawat dan akan diluncurkan dari pesawat pada ketinggian tertentu.

***) Bandingkan dengan beberapa bandar antariksa internasional di negara lain yang luasnya minimal 50 km2, dan bahkan ada yang mencapai 500 km2.

Penulis: Leo Kamilus Julianto Rijadi (Analis Kebijakan Ahli Madya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun