Mohon tunggu...
Leonardo Tolstoy Simanjuntak
Leonardo Tolstoy Simanjuntak Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelancer

Membaca,menyimak,menulis: pewarna hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Pulau Samosir Kejahatan Diganjar Hukum Pancung

9 Juni 2014   20:44 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:31 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kep Samosir/Kompasiana(Kompas.com/Fitri Prawitasari)

[caption id="" align="aligncenter" width="780" caption="Kep Samosir/Kompasiana(Kompas.com/Fitri Prawitasari)"][/caption]

Di Pulau Samosir Kejahatan Diganjar Hukuman Pancung

14022951771992902980
14022951771992902980
[caption id="attachment_341397" align="aligncenter" width="235" caption="Di bawah pohon tua ini raja-raja bersidang menjatuhkan vonis.Sedang diterangkan kpd turis Singapura.(dok?kompasianer)"]
1402295669339928843
1402295669339928843
[/caption]

1402296107435609688
1402296107435609688

Kalau di Indonesia, hukum itu sering dianggap pakai per karena seperti bisa dibuat suka-suka menurut selera dan backing, maka di pulau wisata Samosir, Sumatera Utara, jangan coba-coba melakukan kejahatan. Apa lagi kalau kejahatan itu kategori berat: hukuman pancung kepala sudah pasti siap dijalankan, dengan algojo (eksekutor) yang tentu berdarah dingin siap memegang pedang yang sudah diasah dengan telaten sehingga ketajamannya terjamin untuk memisahkan kepala terhukum dari badan.

Tetapi, jangan dulu mengerutkan kening. Mungkin ada pertanyaan: apakah hukuman pancung itu berlaku untuk seluruh wilayah pulau wisata andalan Sumut itu? Jawabnya, tidak! Hukuman mengerikan ini hanya berlaku di seputaran Huta (kampung) Siallagan, sebuah desa yang dulunya merupakan sebuah imperium kecil tapi sangat disegani di Tanah batak. Kampung yang didirikan marga Siallagan ini tak jauh dari destinasi Tuktuk, Simanindo, hingga sekarang masih memiliki nilai-nilai kepurbakalaan yang tak ternilai dengan uang. Ada rumah-rumah Batak kuno yang meski sudah disentuh renovasi, namun unsur keaslian masih terjaga. Di tengah kampung yang dikelilingi bebatuan besar berusia ratusan tahun ini, terdapat sebuah pohon beringin tua yang konon usianya berkisar 400 tahun ke atas. Di kampong ini pula masih terjaga dengan baik, sejumlah kursi-kursi dan meja terbuat dari batu yang juga usianya ditaksir sudah beberapa abad. Termasuk peralatan terbuat dari batu untuk pelaksanaan hukum pancung bagi orang yang telah divonis melalui sidang raja-raja, di antaranya batu alas yang dibuat melengkung untuk leher orang terhukum sebelum dieksekusi.

Di bawah pohon tua itu tersusun sejumlah kursi dan meja batu, berdekatan dengan rumah berarsitektur Batak kuno serta patung batu yang usianya juga disebut sudah di atas tiga ratus tahun. Salah satu rumah kuno itu dinamakan Roemah Bolon (rumah besar), dibangun kembali oleh Raja Hendrik Siallagan tahun 1936, dibantu oleh St Jesayas Siallagan, dua tokoh utama Hoeta Siallagan sebagai penerus generasi yang mendiami kampong unik ini. Raja hendrik Siallagan seperti tersurat di rumah kuno itu meninggal pada 2 Agustus 1951.

Meski pun para leluhur kampong sudah tiada, kampong Siallagan tetap dijaga dan dirawat generasi ke generasi. Kampung yang sepintas menimbulkan kesan magis ini seperti penuturan warga di Tuktuk, sudah menjadi sebuah kampung yang “dikeramatkan”. Dulu di kampong ini selain raja-raja, juga ada semacam majelis yang sangat dihormati, yang antara lain fungsinya mengawasi nilai-nilai luhur tradisional tetap terjaga. Majelis bersama-sama orang-orang yang dituakan lainnya, membahas suatu masalah krusial yang terjadi, bermusyawarah tentang langkah-langkah dan solusi yang akan diambil, hingga menyidangkan seseorang yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat. Dan hukuman yang bakal dijatuhkan tidak main-main: kepala terhukum dipancung oleh algojo yang siap melaksanakan tugas dengan baik. Rapat majelis diadakan di kursi batu yang disusun rapi di bawah pohon besar tadi.

Nilai-nilai religius berbaur dengan nilai-nilai adat setempat, membuat Hoeta Siallagan memiliki pamor tersendiri di wilayah pulau Samosir. Bahkan sejak zaman dulu, saat Belanda masih menjajah negeri ini, tidak berani macam-macam dengan nilai-nilai yang membungkus ketat kampung ini. Pimpinan tentara Belanda selalu menghormati nilai-nilai itu, walaupun secara de facto Belanda adalah pemerintah kala itu.

Nilai-nilai ketempoduluan itu jugalah yang menempatkan Hoeta Siallagan menjadi salah satu obyek wisata sejarah yang tidak sirna hingga kini. Nilai jual kampong ini cukup tinggi selain panorama alam Tuktuk yang sudah terkenal lebih se abad. Jumlah wisatawan domestic maupun mancanegara tak terhitung lagi banyaknya yang masuk ke kampung Siallagan. Sudah berjuta-juta banyaknya. Untuk masuk ke kompleks ini, tak terlalu banyak prosedur. Ada pintu gerbang masuk dari sebelah pinggir jalan, terbuat dari batu-batu besar, dan di sana tertulis Hoeta Siallagan. Yang penting tamu berperilaku tertib, cukup melapor pada piket dan member sekadar uang pemeliharaan, ya sudah bebas melenggang melihat keunikan-keunikan yang ada di situ. Ada guide yang siap memandu anda, mengisahkan kilas balik keberadaan Hoeta Siallagan secara detil. Seperti saat kompasianer masuk ke sana bulan lalu, puluhan turis Singapura dan Malaysia secara rombongan dipandu seorang guide yang dengan profesional mengisahkan hal-hal yang terkait dengan sejarah kampung itu. Mulai dari riwayat kampong, pohon dan rumah-rumah tua, kursi batu, dan lain-lain. Di komplek ini juga terdapat kios souvenir berisi benda-benda unik mencerminkan ketempoduluan Samosir. Benda-benda souvenir itu asli dibuat warga desa yang tampak bekerja setiap hari. Banyak turis mancanegara yang membeli untuk kenang-kenangan.

Saat sang guide sedang menjelaskan riwayat kampong itu serta tentang hukum pancung tadi, kompasianer menyela dengan satu pertanyaan:” kalau misalnya saat itu ada koruptor seperti sekarang ini, tentu dihukum pancung juga?” Sang guide menjawab sepintas, tanpa ada gurat senyum di bibir:” Pokoknya untuk kasus-kasus berat yang dianggap menciderai citra kemanusiaan, sesuai putusan sidang, akan dihukum pancung, nanti kita saksikan tempatnya.” Para turis Malaysia dan Singapura yang mendengar tuturan guide itu dalam bahasa Inggeris kelihatan terpukau. Diselingi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Batak, ada juga di antaranya yang mengangguk mengerti.

Sang guide dengan gaya profesionalnya menggiring turis ke sebuah tempat di mana terdapat sejumlah kursi, meja, dan tempat eksekusi terbuat dari batu berusia ratusan tahun. Dengan dibantu seorang warga kampong, guide itu memperagakan bagaimana hukuman pancung itu dilakukan sebagaimana biasanya. Ada sebilah pedang diayunkan dengan gerak menebas dari atas terarah ke leher terhukum yang diperagakan seorang warga. Meski cuma peragaan, tampaknya rombongan turis itu menunjukkan sikap ngeri. Cewek-cewek cantik itu sampai merangkul temannya seraya menutup mata.

Tapi, namanya peninggalan sejarah, soal hukuman pancung itu tentu saja tak ada lagi saat ini. Itu terjadi sekitar tiga hingga empat ratus tahun yang silam. Tapi seluruh peralatan eksekusi yang ditunjukkan di sini, benar-benar masih orisinil. Batu-batu besar yang dulunya dipahat dan diukir secara manual oleh tangan-tangan trampil yang mengagumkan.

Mungkin di antara rekan kompasianer sudah pernah dari sana? Kalau belum pernah, caranya gampang. Masuk dari kota turis Parapat, naik kapal motor tak sampai setengah jam ke Tomok, atau naik feri setengah jam, terus dari Tomok ke Tuktuk, dan dari Tuktuk naik sepeda motor, mobil, atau sepeda, arah ke Ambarita. Turis bule kebanyakan memilih sepeda rental mengeliling pulau berjuta pesona ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun