Ketika itu ada gerhana bulan di atas kita. Sepi di bawah bayang-bayang dedaunan jambu. Lewat tengah malam angin semrawut berseliweran entah dari mana, meliar kemana-mana.
Sepi itu lebih dingin dari embun malam. Sepi itu membinasakan logika. Karena,antara kita ada benang putus tak tersambung kembali. Kamu bilang cinta tak senantiasa ada dalam genggaman. Seperti burung liar terciduk jemari di tepi rimba, tiba-tiba lepas seperti belut tercengkeram di lumpur kali.
***
Cerita kita seperti gerhana bulan meredup di atas kita. Buram cahya menerobos ranting gemanting dan daun lusuh. Wajah kita tampak terbelah kelam malam. Ucap kata juga telah lama terhenti ketika gerhana baru dimulai. Dan ujung rambut panjangmu membelai tepi hidungku menggelitik rasa tak semula.
Jemari tangan kita sepakat tak lagi tergenggam. Rela saling melepas dalam sadar merayap nurani. Kita juga sepakat tak lagi berpeluk seperti perjumpaan romansa kaum gitana yang pernah kita baca dari kitab Federico Garcia Lorca.
***
Kita memilih diam bukan karena bertikai. Atau ada yang melukai dan dilukai. Kita bersepakat memilih arif daripada mencinta dan dicinta terpedaya paksa.
Minggu lalu surat indahmu sudah kubaca. Cinta tak boleh bermanja sekedar suka. Cinta - menurut gores indah tanganmu yang kukenal - harus diakhiri jika tanpa kiblat pasti.Â
Dan itulah pilihan kita pada pertemuan terakhir di bawah pohon jambu klutuk. Pertemuan tak lagi padu badan seperti semula. Burung malam yang siap nyenyak di ranting tersentak terbirit membuatmu kecut lantas merangkul bahuku. Rangkulan terakhir yang nantinya kutambahkan pada diaryku.
***
Ketika itu gerhana bulan di atas kita. Langit tak jernih hilang kilau bintang. Wajah bulan tertutup perlahan. Wajahmu juga atau wajahku juga tak lagi utuh dalam gelap yang menebal. Ada elegi yang tak lagi tersampaikan. Beku. Dingin. Saat terakhir kita berjabat dengan senyum yang tak terpandang mata.