Mohon tunggu...
Leonardo Sandan
Leonardo Sandan Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang biasa yang hobi menelaah berbagai peristiwa di sekelilingnya. Pecinta dunia Foto & Film (aktif) yang sangat hobi membaca serta keluyuran di dunia maya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

ASI Eksklusif, Anjuran yang Kerap Menjadi Doktrin

3 Juni 2010   20:22 Diperbarui: 2 Agustus 2016   10:11 3380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Shutterstock

Tekanan mental, sekecil apapun bisa berkumulatif menjadi tekanan besar. Dan jika telah mencapai tingkat depresi, ASI akan berhenti total. Sekuat apapun bayi menghisap, sebanyak apapun obat yang diminum, tidak akan ada pengaruhnya hingga penyebab depresi 100% hilang.

Juga jangan lupakan faktor genetik, kelainan fisik, hormonal dan penyakit. Sekedar Flu pun bisa menggagalkan semangat ASI Eksklusif ( tidak semua ibu yang terkapar dengan demam 38,4 Celcius, dengan hidung meler, batuk dan sakit menelan, masih bersemangat untuk memberikan ASI secara langsung )

Setelah berbusa-busa ngetik sekian banyak kata (koq kaya belut ya ? mendadak berbusa...), yang saya ingin sampaikan adalah sudah menjadi kenyataan bahwa dalam suatu kondisi tertentu, tidak semua orang bisa melakukannya.

Dunia kesehatan dan manusia bukan seperti Matematika, dimana 1+1 hasilnya pasti 2. Tapi bisa 1,5 atau 2,75. Begitu pula dengan masalah ini. Dalam kondisi seperti ini, cukup banyak praktisi kesehatan dan berbagai kalangan masyarakat yang sekilas kurang peka terhadap kondisi psikologis sang ibu. Dari sekedar masalah emosional ringan hingga berat. Juga kondisi fisik yang kurang mampu berfungsi normal.

Pengamatan saya selama ini, hampir selalu mendapatkan/mendengarkan keluhan bahwa ada beberapa ibu kurang beruntung yang justru mendapat tekanan Psikologis saat menghadapi Konsulen atau yang memberi nasehat. Entah karena sikap yang kurang simpatik atau pemilihan tata bahasa yang kurang pas.

Kecenderungan  untuk meremehkan kadang lebih besar dari sekedar menelaah pokok permasalahan yang sebenarnya di derita sang ibu. Kadang alih-alih mendengarkan curahan hati sang ibu secara lengkap, sang konsulen jauh lebih sibuk mengindoktrinasi ketimbang mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Diperparah lagi dengan menggebu-gebu bercerita tentang efek negatif yang akan di derita sang bayi ketika dewasa jika tidak mendapat ASI (kecerdasan menurun, kena Diabetes, hipertensi dll). Maka semakin besar lah tekanan psikologis yang didapat sang ibu.

Dihadapan kita, mungkin dia masih bisa tersenyum. Namun ketika dia pulang ke rumah dan berada dikamarnya merenung, siapa yang tahu ?

Jika hanya masalah emosional ringan, seperti ketidaktahuan, kemalasan dan lain sebagainya. Mungkin bisa ditanggulangi dengan saran dan bimbingan. Namun jika masalahnya termasuk kategori menengah hingga berat (masalah keluarga, ekonomi, keterbatasan fisik dll), perlu lebih dari sekedar saran untuk menganggulanginya. Dan terus terang, pengalaman mengajarkan bahwa hal-hal seperti itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kadang tidak selesai dalam hitungan hari, kadang perlu waktu tahunan.

Kadang praktisi juga melupakan masa kecilnya sendiri. Bahwa mungkin ia dulunya pun tidak dibesarkan murni 100% oleh ASI. Mungkin dengan bubur pisang, nasi tim, air putih, air teh dan lain sebagainya. Dan apakah kini mereka tumbuh menjadi bodoh ? Tidak. Mereka tumbuh pintar seperti sekarang ini.

Namun kenapa mereka meremehkan orang lain ? Entahlah. Sudah menjadi kebiasaan sebagian manusia untuk melupakan sejarahnya sendiri demi mencapai apa yang ia inginkan. Hingga lebih ke arah pencapaian tujuan pribadi ketimbang simpati. Tidak semua, namun ada.

Sehingga mohon jangan meremehkan seorang Ibu yang tidak dapat memberikan ASInya secara eksklusif. Saya sangat yakin, di lubuk hatinya pasti dia ingin memberikan ASI secara Eksklusif. Namun apa daya, kondisi tidak memungkinkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun