Mohon tunggu...
Leni Mathavani
Leni Mathavani Mohon Tunggu... Narratives with integrity. Insights with impact.

Penulis dan Psikolog yang merangkai cerita ringan dengan sentuhan psikologi, refleksi kerja, dan keheningan sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pojok Baca DiRuang Kerja Rumah Kita

15 Oktober 2025   06:15 Diperbarui: 15 Oktober 2025   04:54 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13 Oktober 2025, pukul 1:00 PM -- Jakarta Time
Dalam ruangan virtual yang menghubungkan Jakarta, Singapura, dan Shanghai, Alexa duduk bersama jajaran pimpinan perusahaan. Rapat eksekutif siang itu membahas arah strategis lima tahun ke depan.

Dengan tenang dan penuh presisi, Alexa menyampaikan bagian penting dari tanggung jawabnya: memastikan bahwa pelanggan premium di Amerika Serikat memahami produk, proses, dan nilai perusahaan secara utuh. Bukan sekadar transaksi, tapi hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan, transparansi, dan pengalaman yang bermakna.

Salah satu rencana aksi yang ia ajukan adalah memperkuat branding melalui kolaborasi strategis dengan universitas yang memiliki sejarah panjang bersama perusahaan. Bagi Alexa, kemitraan semacam itu bukan hanya soal reputasi, tapi tentang membangun jembatan pengetahuan dan nilai bersama, sebuah cara untuk menyelaraskan visi global dengan akar lokal.

Ia tahu, membentuk persepsi bukan hanya lewat presentasi, tapi lewat pengalaman yang dirancang dengan integritas. Dan itulah yang membawanya kembali ke layar laptop pukul dua pagi, menyusun langkah demi langkah agar kolaborasi ini bukan hanya berhasil, tapi bermakna.

14 Oktober 2025, pukul 2:00 AM -- Jakarta Time
Di tengah sunyi malam, Alexa duduk tegak di depan layar laptopnya. Lampu meja kerja menyinari wajahnya yang lelah namun tetap fokus. Ia memimpin video conference penting antara tim perusahaannya dan beberapa profesor dari Agriculture & Life Sciences IOWA State University.

Malam itu, Alexa mempresentasikan proposal untuk mengundang salah satu mahasiswa terbaik dari universitas tersebut ke Indonesia. Tujuannya: kunjungan singkat ke unit bisnis perusahaan, lengkap dengan itinerary, fasilitas, dan jaminan keamanan dari awal hingga kembali ke Amerika.

Dari seberang layar, seorang profesor mengangkat satu pertanyaan krusial:
"Jika hasil laporan pasca-internship tidak sesuai dengan standar terbaik kami, apakah perusahaan tetap bersedia menerima dan membiarkan hasilnya dipublikasikan?"

Alexa menjawab dengan tenang, "Perusahaan kami berpegang pada prinsip transparansi. Apapun hasilnya, kami percaya bahwa kejujuran adalah fondasi kolaborasi yang sehat."

Percakapan ditutup tepat pukul 4:00 AM. Alexa segera menulis laporan hasil meeting dan mengirimkannya ke atasannya serta managing director untuk dibahas pada pukul 8:00 AM waktu Singapura.

Pukul 5:00 AM, ia keluar dari ruang kerja. Pakaian formal diganti dengan baju olahraga. Ia meneguk air putih hangat, lalu melangkah keluar rumah untuk berjalan pagi selama satu jam. Udara segar menjadi penyeimbang dari malam yang penuh konsentrasi.

Langkah-langkah kecil itu bukan sekadar rutinitas. Ia adalah cara Alexa menjaga ritme sirkadian tubuhnya, menyelaraskan jam biologis dengan tuntutan lintas zona waktu. Ia tahu, tubuh yang selaras akan melahirkan pikiran yang jernih.

Setelah kembali, ia menyiapkan sarapan dan bersiap untuk video conference berikutnya pukul 7:00 AM WIB. Riasan tipis tak mampu menyembunyikan lelah yang mengendap di wajahnya.

Agenda rapat beruntun selesai pukul 11:00 AM. Alexa akhirnya duduk di sofa pojok baca ruang kerjanya, tempat yang ia ciptakan sebagai ruang pemulihan. Di sana, tubuhnya menyerah pada kantuk dan ia tertidur.

Ketika terbangun pukul 1:00 PM, ia meraih gawainya. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya berbunyi:
"Kamu tadi tidur sangat nyenyak waktu aku pulang sebentar. Di meja makan ada sup ayam herbal kesukaan kamu. Makan yaa, badan kamu butuh nutrisi sebelum menyelesaikan hari ini."

Alexa tersenyum kecil. Ia turun ke bawah, menyantap sup hangat itu, lalu berjalan di taman selama sepuluh menit, ritual yang telah ia lakukan selama belasan tahun.

Hari itu adalah jadwal working from home. Ia kembali ke ruang kerja, menyelesaikan berbagai tugas hingga jarum jam menunjukkan pukul 6:00 PM. Ia memutuskan untuk menutup hari dengan self-pampering: mandi air hangat yang menjadi terapi tubuh dan jiwa.

Sementara itu, seseorang yang ia cintai memarkirkan mobilnya nyaris tanpa suara. Ia naik ke atas, membawa dua goodie bag: satu berisi buku-buku baru, satu lagi berisi selimut kecil berwarna ungu. Ia tahu Alexa akan menghabiskan banyak waktu di ruang kerja, menyelesaikan proyek penting bersama Agriculture & Life Sciences IOWA State University, saat kebanyakan orang di Indonesia sedang terlelap.

Ia menulis pesan kecil di post-it:
"Small presents for you -- Love."

Lalu ia keluar dari ruang kerja dan menemui Alexa. Ia tak selalu hadir dengan kata-kata besar. Tapi dalam sup hangat dan selimut ungu, Alexa merasa dilihat dan dijaga. Seperti ruang kerja yang menjadi tempatnya pulih, kehadiran itu adalah bentuk kehadiran yang paling sunyi namun paling kuat.

Di pojok baca itu, waktu seolah melambat. Tak ada suara rapat, tak ada notifikasi yang mendesak. Hanya cahaya lembut dari lampu meja, aroma buku-buku baru, dan selimut kecil berwarna ungu yang dilipat rapi di sisi sofa. Di sanalah Alexa duduk, tubuhnya bersandar, pikirannya perlahan luruh dari segala beban.

Ia tahu, hidup bukan hanya tentang keputusan besar yang diambil di ruang rapat atau strategi yang dipresentasikan di layar lebar. Namun juga tentang hal-hal kecil, dalam cara seseorang menyiapkan sup hangat tanpa diminta, dalam langkah pelan menuju ruang kerja agar tak mengganggu, dalam catatan kecil yang ditinggalkan dengan cinta.

Pojok baca itu bukan sekadar sudut ruangan. Ia adalah ruang pemulihan. Tempat seseorang bisa merasa dilihat tanpa harus menjelaskan, dihargai tanpa harus sempurna, dan dicintai tanpa syarat.

Dan mungkin, justru di sanalah benih kepemimpinan inklusif mulai tumbuh, di rumah, di antara orang-orang yang kita cintai. Dalam cara kita menyelaraskan langkah dengan ritme mereka, hadir tanpa membebani, dan menciptakan ruang yang tenang agar mereka bisa beristirahat, pulih, dan menemukan kembali kekuatan untuk melangkah.

Karena sebelum kita memimpin tim, organisasi, atau dunia, kita belajar dulu untuk memimpin dengan hati, Di rumah kita sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun