Langkah-langkah kecil itu bukan sekadar rutinitas. Ia adalah cara Alexa menjaga ritme sirkadian tubuhnya, menyelaraskan jam biologis dengan tuntutan lintas zona waktu. Ia tahu, tubuh yang selaras akan melahirkan pikiran yang jernih.
Setelah kembali, ia menyiapkan sarapan dan bersiap untuk video conference berikutnya pukul 7:00 AM WIB. Riasan tipis tak mampu menyembunyikan lelah yang mengendap di wajahnya.
Agenda rapat beruntun selesai pukul 11:00 AM. Alexa akhirnya duduk di sofa pojok baca ruang kerjanya, tempat yang ia ciptakan sebagai ruang pemulihan. Di sana, tubuhnya menyerah pada kantuk dan ia tertidur.
Ketika terbangun pukul 1:00 PM, ia meraih gawainya. Ada beberapa pesan masuk. Salah satunya berbunyi:
"Kamu tadi tidur sangat nyenyak waktu aku pulang sebentar. Di meja makan ada sup ayam herbal kesukaan kamu. Makan yaa, badan kamu butuh nutrisi sebelum menyelesaikan hari ini."
Alexa tersenyum kecil. Ia turun ke bawah, menyantap sup hangat itu, lalu berjalan di taman selama sepuluh menit, ritual yang telah ia lakukan selama belasan tahun.
Hari itu adalah jadwal working from home. Ia kembali ke ruang kerja, menyelesaikan berbagai tugas hingga jarum jam menunjukkan pukul 6:00 PM. Ia memutuskan untuk menutup hari dengan self-pampering: mandi air hangat yang menjadi terapi tubuh dan jiwa.
Sementara itu, seseorang yang ia cintai memarkirkan mobilnya nyaris tanpa suara. Ia naik ke atas, membawa dua goodie bag: satu berisi buku-buku baru, satu lagi berisi selimut kecil berwarna ungu. Ia tahu Alexa akan menghabiskan banyak waktu di ruang kerja, menyelesaikan proyek penting bersama Agriculture & Life Sciences IOWA State University, saat kebanyakan orang di Indonesia sedang terlelap.
Ia menulis pesan kecil di post-it:
"Small presents for you -- Love."
Lalu ia keluar dari ruang kerja dan menemui Alexa. Ia tak selalu hadir dengan kata-kata besar. Tapi dalam sup hangat dan selimut ungu, Alexa merasa dilihat dan dijaga. Seperti ruang kerja yang menjadi tempatnya pulih, kehadiran itu adalah bentuk kehadiran yang paling sunyi namun paling kuat.
Di pojok baca itu, waktu seolah melambat. Tak ada suara rapat, tak ada notifikasi yang mendesak. Hanya cahaya lembut dari lampu meja, aroma buku-buku baru, dan selimut kecil berwarna ungu yang dilipat rapi di sisi sofa. Di sanalah Alexa duduk, tubuhnya bersandar, pikirannya perlahan luruh dari segala beban.
Ia tahu, hidup bukan hanya tentang keputusan besar yang diambil di ruang rapat atau strategi yang dipresentasikan di layar lebar. Namun juga tentang hal-hal kecil, dalam cara seseorang menyiapkan sup hangat tanpa diminta, dalam langkah pelan menuju ruang kerja agar tak mengganggu, dalam catatan kecil yang ditinggalkan dengan cinta.