Mohon tunggu...
Leni Mathavani
Leni Mathavani Mohon Tunggu... Narratives with integrity. Insights with impact.

Penulis dan Psikolog yang merangkai cerita ringan dengan sentuhan psikologi, refleksi kerja, dan keheningan sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanpa Agenda

11 Oktober 2025   06:15 Diperbarui: 11 Oktober 2025   07:31 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah kamu pernah merasa lelah, bukan karena tugas yang menumpuk,
melainkan karena setiap langkah terasa seperti ujian yang tak kunjung selesai?
Sejak tanda tangan kontrak, seolah setiap detik di lingkungan kerja menjadi arena penilaian.
Dinilai oleh tim, kolega, atasan, bahkan sistem yang tak pernah benar-benar diam.
Kadang, bahkan dinding pun ikut menghakimi, membisikkan pertanyaan yang tak terucap:
"Apakah kamu layak ada di sini?"

Pernahkah kamu berharap ada satu ruangan di mana kita bisa bernapas tanpa rasa waspada?
Ruang yang tidak menuntut performa, tidak mencari celah kesalahan,
tidak memaksa kita untuk selalu siap menjawab.
Kalau iya, kamu tidak sendirian.
Aku juga pernah ada di situasi itu.
Dan dari sana, cerita ini dimulai.

Di lantai tujuh belas gedung itu, ada satu sudut yang tak tercantum dalam struktur formal.
Bukan ruang rapat. Bukan ruang kerja.
Kita menyebutnya: dapur.
Bukan karena ada kompor atau kulkas,
melainkan karena di sana kita selalu kembali untuk menghangatkan sesuatu yang tak mudah dijelaskan—
semangat, kelelahan, dan kadang harapan.

Dapur itu bukan sekadar tempat.
Ia adalah sebuah cara.
Cara kita hadir sebagai manusia, bukan sekadar jabatan.
Cara kita bicara tanpa agenda tersembunyi,
mendengar tanpa sikap defensif,
dan berpikir tanpa tekanan.

Suatu sore, saat hujan mulai mengetuk jendela kaca dengan ritme yang tenang,
kamu bersandar di bangku panjang yang sudah lama menjadi saksi percakapan kita.
Matamu menatap langit yang kelabu, seolah mencari jeda di antara tuntutan yang tak pernah benar-benar berhenti.
"Kita butuh ruang yang tidak menuntut performa," katamu pelan.
Suaramu nyaris seperti bisikan—lelah, tapi jernih.
"Ruang di mana kita bisa hadir sebagai manusia, bukan sebagai peran."

Aku menatap cangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya,
lalu menjawab dengan nada yang sama tenangnya:
"Ruang yang bisa kita isi dengan diskusi hangat, bukan tekanan.
Tempat di mana strategi tak harus mengalahkan rasa, dan angka tak selalu mendikte arah."

Di antara aroma kopi dan suara hujan, kata-kata itu tidak sekadar percakapan.
Ia menjadi pernyataan—tentang kepemimpinan yang tak hanya mengatur, tapi juga merawat.
Tentang keberanian membangun budaya yang tidak mengukur nilai dari performa semata,
melainkan dari kehadiran yang utuh sebagai manusia.

Kita tidak selalu sepakat. Tapi kita selalu saling mendengar.
Di dapur itu, kamu bicara tentang strategi. Aku bicara tentang dampak.
Kamu bicara tentang angka. Aku bicara tentang rasa.
Dan di antara aroma kopi dan suara hujan, kita menemukan titik temu.
Kadang, kita hanya duduk dalam keheningan. Tapi diam itu tidak kosong.
Ia penuh dengan pemahaman bahwa kehadiran lebih berarti daripada jawaban.

Lama-lama, dapur itu menjadi budaya.
Orang-orang datang bukan untuk laporan, melainkan untuk refleksi.
Mereka tahu, di dapur, tidak ada penilaian.
Hanya kejujuran yang diterima.

Suatu hari, kamu pergi.
Bukan karena konflik, melainkan karena panggilan lain.
Kamu tahu, dapur itu bukan milikmu. Ia milik nilai-nilai yang kita bangun bersama.
Aku tetap di sini. Menjaga api itu tetap menyala.
Menyambut orang-orang baru dengan secangkir teh hangat dan pertanyaan yang tak menghakimi.
Karena aku tahu, dapur itu bukan soal siapa yang hadir,
melainkan tentang bagaimana kita memilih untuk benar-benar hadir.

Malam itu, aku duduk sendiri di sudut dapur.
Meja masih sama. Kopi masih terlalu manis.
Tapi aku tak merasa sendiri.
Karena dapur ini bukan sekadar ruang.
Ia adalah ruang rasa, ruang yang kita bangun bersama lewat diskusi yang jujur,
refleksi yang tenang, dan keberanian untuk hadir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun