Mohon tunggu...
Leni Mathavani
Leni Mathavani Mohon Tunggu... Narratives with integrity. Insights with impact.

Penulis dan Psikolog yang merangkai cerita ringan dengan sentuhan psikologi, refleksi kerja, dan keheningan sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hitam Pekat itu Perlahan Memutih

25 September 2025   06:25 Diperbarui: 25 September 2025   06:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awan kelabu menyelimuti kota metropolitan yang dulu menjadi panggung ambisi Clara.

Ia berdiri di depan pintu rumah sederhana milik Stella, teman masa kecilnya. Rumah itu jauh dari gedung-gedung mewah yang dulu ia miliki, dan kini telah hilang.

Clara pernah dikenal sebagai pengusaha muda, politikus, dan aktivis perempuan dengan citra spiritual yang kuat. Di panggung publik, ia bicara lantang tentang kesetaraan dan pemberdayaan. Banyak yang menyebutnya "dewi kemanusiaan." Tapi di balik sorotan itu, ia menyalahgunakan dana publik, membeli properti mewah, dan memanipulasi kepercayaan orang-orang yang mengaguminya.

Ia kehilangan segalanya. Tunangannya selama sepuluh tahun, Arya, meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain. Bisnisnya bangkrut. Tabungannya habis setelah kalah dalam pemilihan legislatif. Orang-orang menjauh. 

Yang tersisa hanyalah Clara---hampa, seperti daun kering yang diterbangkan angin.

Ia datang ke Stella. Teman masa kecil yang tak pernah berubah. Meski berpendidikan tinggi dan berkarir sebagai konsultan internasional, Stella memilih hidup sederhana. Ia tinggal di rumah kecil, jauh dari kemewahan yang bisa ia miliki.

Stella membuka pintu dengan senyum hangat.
"Clara, lama tak bertemu. Masuklah."

Clara melangkah masuk dengan tubuh berat dan hati yang retak. Ruang tamu Stella sederhana, dipenuhi foto keluarga dan aroma camomile hangat. Di meja kecil, ada sepotong kue coklat yang masih mengepul, dan piyama bersih terlipat rapi di atas sofa.

Stella duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan tenang.
"Rumah ini selalu terbuka untukmu, Clar. Anggap saja rumah sendiri, senyamannya kamu. Aku sudah siapkan kamar tidur di ujung lorong. Kalau kamu ingin mandi, semua peralatannya ada di kamar mandi dalam."

Clara menatap Stella, matanya mulai berkaca.
"Terima kasih... aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana."

Stella tersenyum lembut.
"Kamu nggak perlu mulai dari mana pun malam ini. Cukup istirahat."

Clara menangis. Tangis yang selama ini ia tahan di balik citra kuat. Ia menceritakan semuanya---korupsi, manipulasi, kehilangan. Stella mendengarkan tanpa menghakimi.

Setelah Clara terdiam, Stella menatapnya dengan tenang.
"Kamu udah melakukan versi terbaiknya kamu pada saat itu, sebelum kita ketemu lagi. Itu udah cukup, Clar."
Ia menggenggam tangan Clara lebih erat.
"Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri. Tapi kamu di sini sekarang. Ada aku. Kamu nggak sendirian."

Clara terisak, lalu tersenyum kecil.
"Terima kasih... aku nggak pernah dengar itu dari siapa pun."

Stella mengangguk pelan.
"Dan kamu masih punya ruang untuk pulih. Kita pelan-pelan, bareng-bareng."

Hari-hari berikutnya, Clara membantu Stella di taman kecilnya, memasak makanan sederhana, dan mengenang masa kecil mereka. Suatu sore, mereka duduk di teras, ditemani teh hangat dan angin yang membawa aroma tanah basah.

Clara menatap langit yang mulai memerah.
"Kamu ingat nggak, Stell... waktu kita sekolah dulu? Kamu selalu juara satu. Semua guru suka kamu. Dan kamu... cantik banget. Aku iri, tahu."

Stella tertawa lepas, suara tawanya memenuhi udara sore.
"Ah, kamu lucu. Menurutku, kamu lah yang paling cantik waktu itu. Bukan aku."

Clara terdiam, matanya berkaca.
"Serius? Kamu bilang gitu... ah, itu bikin hariku cerah."
Ia memeluk Stella erat, seperti ingin menebus tahun-tahun persaingan yang tak pernah diucapkan.

Stella membalas pelukan itu dengan hangat.
"Kita semua punya luka dan cara bertahan masing-masing. Tapi persahabatan kita... selalu jadi ruang untuk pulang."

Beberapa hari kemudian, Stella menerima pesan dari salah satu kliennya: undangan untuk mengunjungi komunitas baru di sebuah desa kecil yang sedang membangun program pemberdayaan perempuan. Ia mengajak Clara ikut.
"Mungkin ini bisa membantumu melihat dunia dari sudut yang berbeda."

Sebelum berangkat, Stella menyiapkan pakaian sederhana untuk Clara: beberapa kaus putih, celana jeans biru, dan sepatu olahraga. Mereka terbang dengan kelas ekonomi, tanpa fasilitas mewah. Sesampainya di bandara kecil, mereka dijemput oleh sebuah pick-up tua. Sopirnya tampak kelelahan. Tanpa ragu, Stella menawarkan diri untuk menyetir agar sang sopir bisa beristirahat.

Clara tertegun.
"Kamu... nyetir mobil pick up dan tua seperti ini?" tanyanya pelan, masih tak percaya.

Stella hanya tersenyum sambil berkata:
"Enjoy your trip with this pretty driver dear hehe."

Di desa itu, mereka tinggal di sebuah rumah kecil dengan perabotan sederhana. Kepala komunitas menyambut mereka dengan hangat. Selama tiga minggu, Clara menyaksikan Stella berinteraksi dengan warga: memasak makanan sederhana, mengajar anak-anak, membantu ibu-ibu menanam sayuran, bahkan menyetir pick-up untuk mengantar hasil panen.

Clara mulai belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari pencapaian besar, gedung megah atau barang-barang mewah, tapi dari kehadiran yang tulus. Ia melihat Stella tertawa saat memasak nasi goreng di dapur kayu, tersenyum saat duduk di tikar bersama ibu-ibu desa, dan tetap anggun meski mengenakan kaus putih yang mulai pudar.

Suatu sore, Clara duduk di bawah pohon mangga, memandangi anak-anak bermain. Ia menulis di buku kecil yang diberikan Stella:

"Aku pernah menjadi bayangan dari ambisi yang tak pernah puas. Tapi di sini, aku belajar bahwa putih tidak harus sempurna. Ia bisa lahir dari hitam pekat, perlahan, dengan kejujuran dan kesederhanaan."

Stella duduk di sampingnya, membawa dua gelas teh hangat.
"Kamu mulai menemukan dirimu yang sebenarnya," katanya lembut.

Clara mengangguk.
"Dan aku ingin hidup seperti ini. Bukan untuk citra, tapi untuk makna."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun