Clara tertegun.
"Kamu... nyetir mobil pick up dan tua seperti ini?" tanyanya pelan, masih tak percaya.
Stella hanya tersenyum sambil berkata:
"Enjoy your trip with this pretty driver dear hehe."
Di desa itu, mereka tinggal di sebuah rumah kecil dengan perabotan sederhana. Kepala komunitas menyambut mereka dengan hangat. Selama tiga minggu, Clara menyaksikan Stella berinteraksi dengan warga: memasak makanan sederhana, mengajar anak-anak, membantu ibu-ibu menanam sayuran, bahkan menyetir pick-up untuk mengantar hasil panen.
Clara mulai belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu lahir dari pencapaian besar, gedung megah atau barang-barang mewah, tapi dari kehadiran yang tulus. Ia melihat Stella tertawa saat memasak nasi goreng di dapur kayu, tersenyum saat duduk di tikar bersama ibu-ibu desa, dan tetap anggun meski mengenakan kaus putih yang mulai pudar.
Suatu sore, Clara duduk di bawah pohon mangga, memandangi anak-anak bermain. Ia menulis di buku kecil yang diberikan Stella:
"Aku pernah menjadi bayangan dari ambisi yang tak pernah puas. Tapi di sini, aku belajar bahwa putih tidak harus sempurna. Ia bisa lahir dari hitam pekat, perlahan, dengan kejujuran dan kesederhanaan."
Stella duduk di sampingnya, membawa dua gelas teh hangat.
"Kamu mulai menemukan dirimu yang sebenarnya," katanya lembut.
Clara mengangguk.
"Dan aku ingin hidup seperti ini. Bukan untuk citra, tapi untuk makna."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI